Semua simbol pengingat sejarah dan pengikat identitas kebangsaan lamban tapi pasti mulai digugat dan dicerca. Pancasila mulai diremehkan, lambang garuda didefinisikan berhala, peringatan upacara mulai diharamkan, hingga peringatan Sumpah Pemuda pun tak luput dari kecaman. Sepertinya memang ada desain sistimatis untuk mencabut akar ikatan masyarakat terhadap sejarah, identitas dan alat perakat kebangsaan yang selama ini tertanam kuat sebagai ingatan publik.
Upaya mencabut ingatan publik dari sejarah masa lalu tersebut sejalan dengan semakin beraninya kelompok tertentu mengangkat identitas sekterian di depan umum. Fenomena ini sebenarnya hal baru tetapi mulai berani disuarakan secara nyaring. Banyak kelompok yang sudah berani mengangkat kebanggaan sekterian dan kelompok tanpa memikirkan efek sosial. Desain itu berpangkal pada membenturkan ikatan kebangsaan dengan identitas sekterian. Masyarakat ingin dijebak kembali dalam kotak-kotak sentimen sekterian sehingga mudah memicu konflik sosial.
Bukankah itu cara lama? Benar, itu cara lama dan cara yang sama yang digunakan dalam mengoyak kebangsaan di berbagai Negara di Timur Tengah. Negara Timur Tengah terkulai lemas dalam fase yang dinamakan Arab Springs dengan hantaman konflik sekterian yang memecah persaudaraan antar warga Negara. Konflik sekterian telah menggerus identitas nasional, rasa kebersamaan, dan kebanggaan nasional yang telah lama merekatkan perasaan bersama dalam satu Negara.
Menghancurkan suatu Negara, tidak lagi menyerang langsung, tetapi cukup memainkan perangkat proxy, atau pihak ketiga yang dapat mengoyak tatanan Negara. Narasi-narasi mulai bertebaran untuk membenturkan sesama anak bangsa. Memori publik tentang sejarah dan identitas nasional mulai digugat dan dipertanyakan. Hasutan, penanaman kebencian, fitnah, provokasi ajakan kekerasan atas nama pembelaan kelompok dikuatkan.
Kini arus desain besar konflik antar warga Negara dengan memainkan sentimen kelompok dan sekterian tersebut mulai menyasar bangsa ini. Masyarakat tidak lagi diingatkan tentang persaudaraan sesama warga negara, tetapi persaudaraan ekslusif berdasarkan persamaan keyakinan, etnik, golongan dan kepentingan. Ingat, Indonesia mempunyai luka sejarah konflik berbasis identitas agama, etnik dan konflik sosial lainnya atas nama perbedaan kelompok. Konflik itu telah memakan banyak korban dan tidak menyelesaikan persoalan.
Ketidakmampuan dan ketidakhadiran Negara dalam mengelola perbedaan yang mulai diruncingkan merupakan angin segar bagi kelompok yang menghendaki desain chaos yang bersifat nasional. Adu domba, provokasi, hasutan, dan penanaman kebencian atas nama kelompok beredar bebas menunggangi isu politik, isu keagamaan, isu sosial dan isu sosial lainnya yang potensial memecah persaudaraan sebangsa.
Dalam kondisi seperti itu dibutuhkan kedewasaan semua pihak, terutama masyarakat di tingkat bawah untuk tidak terbawa arus dengan hasutan, fitnah dan provokasi, apalagi ajakan kekerasan atas nama apapun. Masyarakat harus dikuatkan kembali tentang prinsip persaudaraan sesama warga Negara (ukhuwah wathaniyah). Konsep ini dikenalkan oleh KH. Achmad Siddiq (Mantan Rois ‘Am PBNU) menjadi bagian dari konsep “tri ukhuwah”, yakni tiga konsep persaudaraan sebagai upaya memposisikan kita sebagai orang Islam (ukhuwwah islamiyyah), sebagai warga negara (ukhuwwah wathaniyyah) dan sebagai sesama manusia (ukhuwwah basyariyah).
Ukhuwwah wathaniyyah hari ini menjadi sangat penting dikuatkan kembali di tengah bebasnya ujaran kebencian, hasutan dan fitnah berkeliaran secara liar untuk memecah ikatan sesame warga negara. Umat Islam di Indonesia tidak hanya mempunyai ikatan persaudaraan dengan sesama muslim, tetapi juga punya tanggungjawab menjaga persaudaraan antar sesama warga negara yang beragam. Kelompok kepentingan sedang bermain untuk meruncingkan perbedaan dengan mengeksploitasi atas nama persaudaraan seagama dengan melupakan persaudaraan sebangsa dan setanah air.
Umat Islam telah lama berdampingan secara harmonis dengan umat lain dalam bingkai kebhinnekaan NKRI. Warisan penting persaudaraan yang telah dirumuskan oleh para pendahulu bangsa ini harus dijaga untuk menjamin keutuhan negara dan bangsa. Umat Islam harus cerdas dalam menyikapi perbedaan, apalagi menyikapi ajakan yang memperuncing perbedaan. Kita tidak bisa menghindari perbedaan, tetapi terpenting adalah menjaga perbedaan dalam kesatuan yang harmonis.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…