Faktual

Muharam; Momentum Hijrah Kebangsaan dari Ekstremisme ke Nasionalisme

Tahun baru Islam 1 Muharam kali ini umat Islam Indonesia mendapat kado istimewa. Yakni pembubaran diri Jamaah Islamiyyah, organisasi radikal ekstrem yang menjadi dalang berbagai aksi terorisme besar di Indonesia. 

Deklarasi pembubaran JI, dibacakan oleh Abu Rusydan pada 30 Juni lalu. Dalam deklarasi tersebut, mereka menyatakan diri bubar, kembali ke NKRI dan akan mengamalkan paham Aswaja. 

Pembacaan deklarasi pembubaran JI yang berdekatan dengan perayaan Tahun Baru Islam, 1 Muharam itu seolah menyimbolkan sembagt hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah ribuan tahun lalu. Kala itu, Nabi Hijrah dari Makkah ke Madinah, dilatari oleh beragam faktor. Mulai dari agama, politik, dan sosial. 

Dalam konteks agama, hijrah Rasulullah adalah mengikuti perintah Allah agar ia meninggalkan Mekkah dan pindah ke Madinah. Secara sosial, hijrahnya Nabi ke Madinah adalah atas undangan warga Madinah yang ingin agar Nabi Muhammad mendamaikan masyarakat di sana yang terlibat konflik berkepanjangan.

Sedangkan secara politik, hijrah Nabi Muhammad adalah bagian dari strategi konsolidasi kekuatan yang mustahil dilakukan di Mekkah. Para petinggi suku Quraisy kala itu masih cukup sulit untuk ditaklukkan Nabi Muhammad. Maka, ia pun memindahkan pusat penyebaran di Madinah, dimana Nabi Muhammad mendapatkan posisi yang strategis. 

Hijrah, dengan demikian tidak hanya bermakna pindan fisik, namun juga perubahan paradigma berpikir. Dalam konteks globalisasi seperti saat ini, perpindahan fisik tentu bukan hal yang istimewa.

Seseorang bisa berpindah-pindah negara bahkan benua dalam sehari dengan memanfaatkan kecanggihan alat transportasi. Maka, hakikat hijrah dalam konteks modern idealnya tidak selalu merujuk pada perpindahan fisik. Di era modern ini, hijrah idealnya dipahami sebagai transformasi nalar pikir menuju keadaan yang lebih konstruktif. 

Hijrah ala Rasulullah dalam Konteks Keindonesiaan 

Dalam konteks Indonesia, hijrah yang konstruktif itu adalah perubahan cara pandang keagamaan dari yang sebelumnya mengasah pada ekstremisme menuju nasionalisme. Cara pandang keagamaan yang ekstrem itu mewujud antara lain pada sikap intoleran terhadap kelompok agama lain, tidak mengakui dasar dan konstisusi negara, anti pada kearifan lokal, dan menghalalkan cara kekerasan demi mencapai tujuan kekuasaan.

Cara pandang keagamaan ekstrem ini berbahaya, apalagi di negara bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Maka, ekstremisme agama adalah musuh yang mengancam eksistensi sebuah bangsa. Ekstremisme agama bisa menandai akar kekerasan, teror, bahkan genosida yang tidak hanya mengancam kemanusiaan, namun juga bisa merobohkan negara dari dalam. 

Cara pandang dan perilaku beragama yang ekstrem itu tentu wajib kita tinggalkan. Kita harus mengubah paradigma beragama kita menuju sikap yang toleran, moderat, dan nasionalis. Spirit toleransi, moderasi, dan nasionalisme itu lah yang menjiwai hijrah nabi Muhammad ke Madinah. 

Bahkan, jika diamati, ajaran Islam pun mengalami semacam transformasi alias perubahan selepas kepindahan Nabi Muhammad ke Madinah. Maka, dalam Alquran dikenal pembagian Surat ke dalam dua kategori merujuk pada tempat turunnya ayat tersebut.

Ayat yang turun semasa periode Nabi Muhammad di Mekkah disebut Ayat Makkiyah, yang secara karakteristik berisi pembahasan tentang teologis (tauhid, hal-hal ghaib, keimanan) dan hal eskatologis (akhirat, kiamat, surga, neraka). Sedangkan ayat yang turun di periode kehidupan Nabi Muhamad di Madinah disebut Ayat Madinah. Secara umum, ayat Madaniyah berisi penjelasan tentang isu-isu sosiologis dan politis. 

Agenda dakwah Nabi di Mekkah adalah sekadar mengajak masyarakat terutama suku Quraisy untuk masuk Islam. Sedangkan, periode dakwah Nabi di Madinah mengusung agenda yang lebih kompleks dari itu. Di Madinah, dakwah Nabi Muhammad berorientasi pada upaya mewujudkan tatanan sosial keagamaan yang toleran pada perbedaan, dan mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan. 

Spirit hijrah ala Nabi itulah yang patut diteladani oleh umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hijrah dari nalar keagamaan yang formalistik, dan hanya berkutat pada urusan teologis dan eskatologis menuju nalar keaagamaan yang  berorientasi pada kemaslahatan secara sosio-politis. Datangnya tahun baru Islam, 1 Muharom kiranya bisa menjadi momentum hijrah kebangsaan. 

Bangsa ini harus meneladani spirit hijrah Rasulullah yang konstruktif. Bukan hijrah destruktif ala tafsiran kelompok konservatif radikal. Hijrah ala Rasulullah tidak mengajak umat pada pola pikir yang eksklusif, simbolik, dan formalistik. Hakikat hijrah ala Rasulullah adalah mengajak umat lebih humanis dan nasionalis. 

 

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago