Sepanjang hidup Rasulullah, empat kali umat Islam berperang melawan kaum Yahudi. Empat pertempuran itu adalah Perang Bani Qainuqa’ (623M/2 H), Perang Bani Nadzir (625 M/4 H), Perang Bani Quraidzah (627 M/5 H), dan yang keempat adalah perang terbesar di zaman Nabi, Perang Khaibar (629 M/7 H).
Khaibar merupakan basecamp orang Yahudi pada waktu itu. Populasi terbesar Yahudi di Arab berada di Khaibar. Khaibar adalah daerah yang kaya dan penuh dengan penghasil kurma. Terletak di utara Madinah dengan lahan pertanian yang subur, Khaibar berjarak sekitar 154 km dari Madinah.
Dalam Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal, selain pertanian, Khaibar juga kaya akan produksi sutera. Industri militer juga mendukung perekonomian di Khaibar dengan adanya pabrik olahan logam untuk dijadikan senjata.
Singkatnya, karena itu ia menjadi teritori paling aman bagi umat Yahudi untuk menyusun makar, memproduksi kebencian, dan pelampiasan balas dendam terhadap umat Islam. Dendam itu merupakan akumulasi dari tiga peperangan dengan umat Islam yang disebut di awal yang melibatkan tiga suku Yahudi, Qainuqa, Quraidzah, dan Nadzir.
Tiga suku tersebut berhasil dimobilisasi oleh Yahudi Khaibar, ditambah dengan dukungan Bani Gathafan. Bani Ghatafan merupakan salah satu kabilah terkuat di Jazirah Arab bagian utara yang sepakat menjadi sekutu Yahudi Khaibar yang rencananya akan menambah amunisi pasukan sebanyak 4.000.
Pergerakan di Khaibar tersebut sampai ke Madinah. Beberapa kaum Muslim berhasil mendekati Khaibar untuk mengintai situasi. Sementara itu di Madinah, pada 629 M/7 H, Nabi Muhammad baru saja kembali dari Hudaibiyah. Di Hudaibiyah, pasukan Islam membuat kesepakatan gencatan senjata dengan kaum Quraisy selama 10 tahun.
Di sisi lain, kaum Yahudi telah lama ingin menghentikan kekuasaan umat Islam di Madinah sekaligus membalaskan dendam kekalahan-kekalahan mereka terdahulu. Namun, mereka tidak berani melakukan aksi militer secara langsung.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan memprovokasi kabilah-kabilah Arab agar bekerjasama melawan kaum Muslim. Strategi semacam ini sebenarnya sudah pernah mereka lakukan pada Perang Khandaq, namun mereka tetap gagal menang. Rasulullah dan umat Muslim berhasil mengantisipasi dan menggagalkan manuver politik Yahudi.
Sebulan setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah yang melihat ancaman Khaibar segera mengambil keputusan. Umat Islam akan mengambil inisiatif untuk menyerbu Khaibar terlebih dahulu sebelum mereka datang ke Madinah.
Nabi Muhammad sengaja langsung datang ke jantung utama musuh untuk memberi pesan kepada Yahudi, siapa sebenarnya yang mereka hadapi. Umat Muslim datang ke Khaibar dengan 1.600 pasukan dengan 200 pasukan kavaleri. Nabi hanya membawa mereka yang turut serta di Hudaibiyah.
Kontingan Muslim sampai di Khaibar pada malam hari tepatnya di lembah al-Raji, lembah yang memisahkan antara Khaibar dan markas kabilah Gathafan. Pagi harinya, pasukan Khaibar dikejutkan oleh hadirnya pasukan Muslim.
Namun, pasukan Muslim dihadapkan oleh pertahanan Khaibar yang kokoh. Selain tiga lapis benteng utama, pasukan Khaibar sekarang memiliki pertahanan dengan kekuatan mencapai 10.000 pasukan. Kekuatan tersebut masih mendapatkan dukungan 4.000 pasukan kabilah Gathafan yang terdiri dari invanteri maupun kavaleri.
Namun, pasukan Gathafan tidak datang karena termakan rumor akan adanya serangan kaum Muslim ke benteng mereka. Strategi ini berhasil menggagalkan rencana dukungan 4.000 pasukan Gathafan itu untuk terlibat di Khaibar.
Pasukan Muslim yang dipimpin Rasulullah tersebut memang kalah jumlah. Namun, mereka diuntungkan dengan pergerakan cepat mereka. Mencapai Khaibar tanpa dugaan membuat pasukan Yahudi tidak sempat mengkoordinasikan dan mengorganisir pasukannya.
Terdesak dalam pertempuran terbuka, pasukan Yahudi terpaksa bertahan dalam benteng-benteng mereka. Pertempuran terbuka jarak dekat berubah menjadi saling serang menggunakan anak panah.
Untuk diketahui, saat itu, baik pasukan Muslim dan Yahudi tidak pernah siap untuk pengepungan jangka panjang. Karena itu, pasukan Muslim melancarkan serangan kilat. Pun dengan pasukan Yahudi. Malam harinya, memanfaatkan kegelapan, pasukan Yahudi berhasil keluar dari benteng Naim, menuju benteng Zubair.
Pagi harinya, pasukan Muslim hanya mendapati benteng Naim yang telah kosong. Pertempuran jarak jauh pun berlanjut ke benteng Zubair. Mencegah pasukan Yahudi melarikan diri, umat Islam semakin masif menyerang. Mereka dengan sekuat tenaga menjebol pintu benteng.
Benteng demi benteng di Khaibar pun akhirnya berhasil dijebol. Nabi memerintahkan pasukan Muslim untuk menjaga semua yang tertawan dalam pertempuran, termasuk wanita dan anak-anak.
Konsentrasi pasukan Muslim kemudian diarahkan ke benteng Qamush, benteng terkuat di Khaibar. Kekuatan pasukan Muslim benar-benar diuji ketika berhadapan dengan benteng ini. Abu Bakar Ash-Shidiq yang mempimpin gerilya ini gagal menaklukan Qamush. Umar bin Khattab yang menggantikannya pun gagal membongkar kuatnya benteng.
Nabi kemudian memerintahkan Ali bin Abi Thalib mengambil alih pimpinan serangan. Setelah mendekat ke benteng, Ali bin Abi Thalib ditantang oleh panglima kaum Yahudi, Marhab. Duel sengit dua panglima tersebut berakhir dengan tewasnya Marhab.
Bersama pasukannya, Ali berhasil merobohkan pintu benteng. Jebolnya Qamush membuat kaum Yahudi tidak mempunyai pilihan selain menyerah. Meski demikian, Nabi Muhammad menjamin keselamatan mereka yang menyerah.
Menyerahnya Khaibar menandai sebuah titik penting dalam hukum Islam, yaitu status zimmi untuk non-Muslim yang berada di bawah kekuasaan Muslim. Selama tidak melakukan pembangkangan, kaum zimmi akan memperoleh perlindungan sesuai dengan hukum Islam.
Setelah pengepungan Khaibar selama 1,5 bulan, pasukan Muslim kembali ke Madinah. Jatuhnya Khaibar semakin mengukuhkan kedudukan Islam di Jazirah Arab. Suku-suku Arab nomaden semakin banyak yang berbait kepada Nabi Muhammad. Selepas Khaibar, perjanjian Hudaibiyah itu tetap terjaga.
Namun, perjanjian itu akhirnya batal setelah Quraisy Mekkah melakukan pelanggaran. Umat Islam kemudian melakukan ekspedisi militer ke Mekkah 18 bulan setelah jatuhnya Khaibar.
Keberhasilan Perang Khaibar tidak hanya bergantung pada kekuatan militer, tetapi juga pada strategi dan diplomasi yang cerdas. Nabi Muhammad SAW mengambil keputusan untuk menyerbu Khaibar terlebih dahulu untuk mencegah ancaman terhadap Madinah. Pendekatan ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik tidak selalu harus melalui kekerasan, tetapi juga melalui strategi yang bijaksana dan negosiasi.
Perang Khaibar memberikan banyak hikmah tentang kemanusiaan dan moderasi yang dapat diterapkan dalam konteks modern untuk melawan kekerasan berbasis agama. Perlakuan manusiawi, jaminan keselamatan, serta penggunaan strategi dan diplomasi adalah nilai-nilai yang dapat diambil dari peristiwa tersebut. Dengan menginternalisasi dan menerapkan hikmah-hikmah ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih damai, toleran, dan efektif dalam melawan ideologi radikal yang merusak.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…