Bulan Ramadan memiliki makna yang mendalam bagi muslim Indonesia. Baik dalam artian teologis maupun historis. Dari sisi teologis, bulan Ramadan merupakan bulan suci, dimana Allah melipatgandakan pahala amal baik dan memberikan maaf pada dosa-dosa manusia. Sedangkan dari sisi historis, Ramadan memiliki makna mendalam karena di bulan itulah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945 dikumandangkan untuk pertama kalinya.
Tanggal 17 Agustus 1945 yang notabene merupakan hari Proklamasi Kemerdekaan RI bertepatan dengan hari Jumat, tanggal 9 Ramadan 1364 H. Pemilihan tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan RI bukanlah sebuah kebetulan belaka. Merujuk pada catatan Sukarno dalam otobiografinya Sukarno; Penyambung Lidah Rakyat menyebutkan bahwa sejumlah pemuda yang mendatangi ke rumahnya menuntut kemerdekaan diproklamasikan tanggal 15 Agustus 1945.
Sukarno menolaknya dengan berbagai alasan. Mulai dari belum adanya persiapan, belum terjadinya kesepakatan, sampai pentingnya pemilihan waktu yang tepat. Ia lantas mengusulkan tanggal 17 Agustus sebagai hari proklamasi kemerdekaan. Dalam otobiografinya ia menyebut bahwa “tujuh belas angka suci, kita ada di bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 10? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia”.
Pernyataan Sukarno itu menunjukkan bahwa pemilihan tanggal 17 Agustus sebagai momen proklamasi kemerdekaan bukan kebetulan. Melainkan dilandasi oleh pertimbangan agama dan spiritual. Sedangkan jika merujuk pada buku Aguk Irawan M. N. yang berjudul Sang Penakluk Badai; Biografi K. H. Hasyim Asy’ari dijelaskan bahwa utusan Bung Karno datang menghadap beliau dengan maksud menanyakan kapan waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan RI.
Melalui proses istikharah para kiai, K. H. Hasyim Asy’ari memilih hari Jumat 9 Ramadan sebagai hari memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Jumat dipilih karena statusnya sebagai sayyidul ayyam alias pemimpinnya hari. Sedangkan bulan Ramadan dipilih lantaran statusnya sebagai sayyidus syuhur yakni pemimpinnya bulan.
Problem Penafsiran Jihad di Kalangan Umat Islam
Proklamasi kemerdekaan RI di bulan suci Ramadan ialah sepenggal fragmen sejarah yang penting dihayati oleh para generasi sekarang. Terlebih dalam konteks memaknai spriri jihad di bulan Ramadan. Seperti kita tahu, Ramadan memang identik dengan bulan jihad. Di masa Rasulullah, salah satu perang terbesar yang dimenangkan umat Islam, yakni perang Badar terjadi di bulan suci Ramadan. Kemenangan Perang Badar itu lantas menjadi simbol jihad bulan Ramadan.
Namun, penafsiran jihad di bulan Ramadan kerap problematik. Terutama yang muncul di kalangan kelompok Islam radikal-ekstrem. Bagi mereka, jargon Ramadan sebagai bulan jihad kerap dimaknai secara sempit. Yakni bahwa Ramadan ialah bulan yang tepat untuk melakukan aksi teror dan kekerasan atas nama agama. Tafsir yang demikian ini jelas sesat dan menyesatkan.
Bagaimana tidak? Di satu sisi, terminologi jihad tidak selalu harus dimaknai sebagai perjuangan apalagi peperangan fisik (qital). Segala upaya kebaikan yang dilakukan dengan maksimal dan total juga bisa disebut sebagai jihad. Di sisi lain, menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum melakukan aksi teror dan kekerasan ialah sebuah bentuk penistaan terhadap kesucian Ramadan itu sendiri.
Dua Pelajaran Rekontekstualisasi Jihad dari Para Pendiri Bangsa
Strategi para pendiri bangsa dalam memproklamasikan kemerdekaan RI di bulan Ramadan itu kiranya patut menjadi pelajaran penting terkiat rekontekstualisasi makna jihad di era kekinian. Ada setidaknya dua pelajaran penting yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut. Pertama, bahwa jihad tidak semata peperangan fisik. Sukarno justru menghindari kekerasan fisik dan peperangan terbuka dalam memproklamasikan kemerdekaan RI yang diperjuangkan selama berpuluh tahun.
Keputusan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan RI setelah melakukan persiapan matang dan mencari masukan dari ulama ialah bukti bahwa jihad kebangsaan tidak boleh dilakukan secara grusa-grusu. Jihad ialah langkah strategis sekaligus taktis yang berorientasi pada tercapainya tujuan dengan meminimalisasi risiko yang ditimbulkan.
Pemikiran para pendiri bangsa itu berkebalikan dengan kelompok radikal yang memaknai jihad secara sempit. Bagi mereka, setiap aksi teror dan kekerasan bahkan yang tidak memberikan dampak apa pun bagi Islam sudah dianggap sebagai jihad. Artinya, jihad yang mereka lakukan tidak berfokus pada tujuan utama, melainkan justru fokus pada aspek simboliknya yang bombastis.
Kedua, sikap Sukarno yang melibatkan para ulama dalam penentuan tanggal proklamasi kemerdekaan RI menunjukkan bahwa jihad kebangsaan bukanlah monopoli satu golongan. Sukarno memberikan pelajaran penting bahwa kemerdekaan RI ialah hasil kolaborasi perjuangan antara umara (pemimpin politik) dan ulama (pemimpin agama).
Dari sini, umat Islam Indonesia hari ini kiranya bisa belajar bahwa tafsir jihad di bulan Ramadan itu tidak identik dengan kekerasan apalagi perang. Berjihad di bulan Ramadan, dalam konteks Indonesia kekinian idealnya mewujud pada perjuangan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dari segala narasi dan isu yang memecah-belah. Terlebih saat ini kita memasuki tahun politik dimana narasi provokatif merajalela.
This post was last modified on 10 April 2023 3:46 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…