Belakangan, Indonesia dilanda musibah yang bertubi-tubi. Gemba di Lombok, Palu, Donggala dan daerah sekitar masih segar dalam ingatan kita, kini giliran Selat Sunda yang terkena tsunami. Isak dan jerit tangis pun membahana ke langit Indonesia, sebagai ekspresi kesedihan dan kepedihan karena ditinggal oleh orang-orang tercinta korban tsunami. Begitu juga dengan masyarakat secara umum; ikut merasakan kesedihan saudara-saudaranya yang terkena musibah.
Marilah kita melihat musibah tersebut jangan dengan perspektif sempit, semisal adzab dari Allah Swt. karena telah bermaksiat. Karena jika kita beranggapan demikian, sesungguhnya kita tengah menyiksa korban (selamat) dan keluarga korban yang kehilangan buah hati, suami, istri, bapak, maupun ibunya. Mari kita letakkan musibah tersebut sebagai fenomena alam yang tak diduga, sehingga tidak ada pencegahan dini oleh otoritas terkait, sehingga banyak korban yang berjatuhan.
Musibah tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 lalu, telah memakan korban sebanyak 429 meninggal dunia, 1.485 luka-luka, dan 154 hilang. Hal ini tentu menjadi kesedihan bersama, apalagi bagi keluarga yang kehilangan anggotanya. Apalagi, menjelang perayaan Natal bagi umat Kristiani, musibah tersebut sedikit banyak mempengaruhi perayaan Natal. Sebagaimana doa malam Natal di Gereja Kristen Pantekosta Rahmat Carita, Pandeglang, Banten, yang batal digelar. Hal ini karena sebagian besar panitia perayaan mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Meski begitu, lantunan doa untuk warga terdampak tsunami juga mengalun dari gereja-gereja di Nusantara. Dalam Misa di Katedral, Uskup Agung Jakarta Mgr. Ignatius Suharyo menyelipkan doa untuk terdampak tsunami, “Semoga para korban yang meninggal dunia diberikan kebahagiaan abadi, keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahaan.” (tempo.co/2018)
Pun yang dilakukan Gereja Santo Yoseph Matraman, Pastor Dominikus Beda Udjan beserta para jamaatnya melantunkan doa untuk saudara terdampak tsunami, “Kita mohonkan kerahiman dan belas kasih Allah bagi mereka yang menjadi korban dan bagi keluarga atau sanak saudara yang ditinggalkan, diberi rahmat dan penghiburan dan kekuatan.”
Baca juga : Karena Kau Manusia, Sayangi Manusia
Sebenarnya, musibah ini merupakan cobaan bagi solidaritas umat lintas iman. Bahwa ada kecenderungan sementara orang yang mengait-ngaitkan dengan perayaan Natal, atau kemaksiatan, sehinggan Tuhan murka dan menenggelamkan terdampak tsunami. Asumsi-asumsi yang menyakitkan itu jangan sampai keluar dari mulut kita, pun jangan sampai terpikirkan. Bahkan sebaliknya, kita mesti bersolidaritas sekalipun beda keyakinan. Sebagaimana dulu dilakukan oleh pihak kepolisian Probolinggo, paska gemba bumi di Donggala. Bahwa untuk mendoakan terdampak gempa di Donggala, sejumlah pemuka agama dari Kristen, Islam, Hindu, Katholik, Budha, berkumpul bersama. Santri maupun tokoh lintas agama mencoba menggambarkan bentuk kerukunan, bersama-sama memberikan doa keselamatan kepada kroban bencana gempa dan tsunami. (kumparan.com/2018)
Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur pada 28-29 Juli 2018 lalu, merumuskan enam prinsip muslim dalam berinteraksi dengan umat beragama lainnya. Salah satu prinsipnya adalah internalisasi semangat persaudaraan nasional (ukhuwah wathaniyah). Bahwa semua manusia adalah bersaudara, apalagi sesama warga negara Indonesia, misalnya. Maka dari itu, duka terdampak musibah tsunami juga duka kita bersama. Dan, wajib bagi kita untuk bergandengan tangan untuk meringankan beban korban terdampak.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri. Kecuali, bagi yang zalim dan jahat, maka hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.” (nu.or.id)
Dalam sabda tersebut dikatakan, ‘umat Yahudi bani ‘Auf dan mukminin adalah satu umat. Pun dengan pemeluk agama di Indonesia yang beragam, adalah satu umat yang memiliki hak dan tanggung jawab sama, dalam konteks bernegara, yakni menjadi warga negara yang saling tolong menolong dan mendukung. Batas perbedaan antar pemeluk agama adalah akidahnya, sementara nilai universal yang dikampanyekan tiap agama memiliki titik temu.
Maka dari itu, persatuan umat beragama lintas iman adalah kunci Indonesia damai. Hal ini bisa dirasakan begitu bencana demi bencana melanda Indonesia, kita tidak lagi mempersoalkan apakah korban terdampak itu beragama, Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, ataupun Konghuchu. Kita melihat mereka semua adalah saudara satu tubuh, yang membutuhkan simpati dan empati kita untuk meringankan penderitaan mereka. Doa lintas agama adalah bukti nyata bahwa persaudaraan itu bisa muncul dari tokoh-tokoh agama. Jika solidaritas telah memancar melintasi sekat agama, maka Indonesia akan lebih kodusif, dan spirit gotong royong pun akan membudaya dalam setiap kondisi dan keadaan, apalagi ketika musibah.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…