Categories: Narasi

Totalitas dalam Perang Melawan Corona

Wabah corona bukan musuh kecil. Ia tak nampak, tetapi ganas. Abstrak, tetapi mematikan. Corona tak pandang bulu. Semua orang, agama, jenis kelamin, dan negara diserangnya. Korban sudah ribuan berjatuhan. Di Italia saja ada sembilan ratus lebih per-hari yang mati, di Amerika seribu lebih per-hari.

Perang terhadap pandemi ini harus dilakukan secara totalitas. Ini bukan virus biasa. Wabah bernama resmi coronavirus disease 2019 (Covid-19) ini sangat mematikan. Penyebarannya begitu cepat karena bisa ditularkan lewat berbagai media, makhluk hidup maupun benda mati.

Menurut para pakar, sekitar 70% warga Indonesia bisa tertular corona dan 1,5 juta lebih penduduk bakal meninggal dunia apabila tidak ada langkah disiplin memutus rantai penyebaran, tidak ada alat pelindung diri yang cukup, dan pelayanan medis yang tidak memadai.

Segenap tenaga dari semua lapisan harus aktif. Kita tinggalkan ego kita masing-masing. Kita tinggalkan perebedaan pilihan politik. Kita fokus melawan Corona. Sikap nyinyir, mau menang sendiri harus kita tinggalkan. Mari kita saling bahu membahu, saling menguatkan. Ini adalah musuh bersama.

Melihat penularannya yang sangat cepat, angka kematian yang begitu tinggi, dan daya rusak yang amat besar terhadap perekonomian, kita tak boleh hanya menyerahkan urusan ini hanya kepada pemerintah dan tim medis saja. Kita semua harus menabuh genderang perang terhadap untuk melawannya.

Baca Juga : Media Distancing dan Model Literasi Media Berbasis Keluarga

Laiknya perang, setiap orang harus bersiap siaga. Kita tak boleh terlalu panik, tetapi juga tak boleh terlalu menganggap enteng. Sikap waspada adalah cara terbaik, sambil memberikan bantuan baik dalam bentuk tenaga, pikiran, ekonomi, maupun sumbangan moril dan motivasi.

Sebagaimana perang besar, kita semua harus tunduk pada komando pemimpin, fokus pada satu tujuan, dan bertempur bersama untuk mengalahkan corona. Komandan kita adalah pemerintah pusat. Kita harus melaksanakan arahan dari pusat. Kita tak boleh bercerai berai, apalagi membandingkan satu pimpinan daerah dengan pimpinan daerah. Saat kita kerja bareng. Kalau ada yang tidak benar kita kritik, bukan malah kita nyinyirin.

Dalam kondisi sekarang, pemerintah harus lebih agresif memimpin semua kekuatan di Indonesia untuk pertama, memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19 dengan berbagai cara. Kedua, meningkatkan kapasitas medis agar setiap warga terpapar, terutama pasien yang sudah sangat serius, bisa mendapatkan perawatan di rumah sakit dan pelayanan medis yang baik. Ketiga, mencegah penurunan daya beli masyarakat.

Setiap warga negara, siapa pun dia, perlu menyadari bahwa kita berada dalam satu gerbong. Apabila ada masalah dengan gerbong, semua orang terkena dampaknya. Jika gerbong hancur, kita semua sebagai bangsa akan akan hancur. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai keahlian dan kemampuan, wajib berkontribusi untuk mengalahkan corona.

Untuk memutus rantai corona, pemerintah tidak memberlakukan karantina wilayah. Presiden Jokowi memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ditopang oleh kebijakan darurat sipil. PSBB akan diterapkan dengan sangat ketat. Jika situasi memburuk, pemerintah menggunakan kebijakan darurat sipil.

Saat ini, Indonesia menjadi episentrum baru Covid-19. Indonesia menjadi perhatian dunia karena data penyebaran corona dinilai kurang transparan. Sebagian kalangan menyebut, data yang diumumkan hanya gunung es-nya saja. Di bawah itu ada jumlah yang lebih banyak.

Kesangsian sebagian negara dan pihak lain menjadi tantangan tersendiri bagi kita. Kita harus menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia bisa menuntaskan ini, dan kita jangan dianggap remeh.

Kesangsian itu muncul akibat Indonesia  dinilai negara beresiko tinggi karena rendahnya kapasitas medis. Angka warga positif corona dan yang meninggal karena Covid-19 diperkirakan sudah berlipat-lipat karena tak ada tes yang masif dan data yang lengkap. Belum lagi kelangkaan masker, dan penimbunan beberapa alat kesehatan dalam melawan Corona.

Ada tiga isu penting yang harus diselesaikan simultan dalam menghadapi Covid-19. Ketiga isu yang saling berkaitan itu adalah: (1) upaya habis-habisan memutuskan rantai penularan Covid-19; (2)  meningkatkan kapasitas medis, dan (3) langkah cepat mencegah penurunan daya beli rakyat.

Memutuskan mata rantai penuluran Covid-19 adalah harga mati. Oleh karena itu, imbauan pemerintah agar menunda mudik perlu diperhatikan. Mereka yang sudah telanjur mudik, wajib isolasi mandiri selama 14 hari. Selama rentang waktu itu, mereka tidak boleh berkontak fisik dengan siapa pun, termasuk keluarga. Upaya memutus rantai penyebaran corona membutuhkan kolaborasi semua elemen bangsa. Ini bukan hanya tugas pemerintah dan tim medis. Ini adalah kewajiban bersama untuk ikut terlibat dalam perang besar ini.

This post was last modified on 6 April 2020 4:03 PM

Ahmad Kamil

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

9 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

9 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

9 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago