Narasi

Tragedi Sigi, Alarm Keras untuk Umat Islam

Aksi terorisme di Indonesia tentu bukan hal baru. Termasuk tragedi berdarah yang terjadi di Kabupaten Sigi, Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 4 orang korban dan 4 rumah habis terbakar. Aksi yang tak berperikemanusiaan ini diduga melibatkan kelompok Mujahidin Islam Indonesia pimpinan Ali Kalora.

Tentu kita sepakat untuk bersama-sama mengutuk aksi kekerasan yang menggunakan jubah agama ini. Namun, pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus-menerus membiarkan hal semacam ini terjadi? Ingat, walaupun kita bersepakat untuk mengutuk aksi biadab semacam itu, tak ada gunanya bila tak disertai dengan tindakan konkret untuk mencegah semua itu.

Karena itu, tragedi nir-kemanusian yang pecah di Sigi itu harus dimaknai lebih dari sekadar kutuk-mengutuk. Artinya, hal ini juga harus dimaknai sebagai alarm keras bagi umat Islam khususnya, bahwa gerakan-gerakan keislaman yang selama ini kita kampanyekan untuk memutus rantai dan jaringan kelompok Islam radikal tidaklah tepat sasaran.

Sebab itu, umat Islam harus lebih fokus lagi membangun gerakan anti-radikalisme secara maksimal. Nah, untuk mewujudkan itu, penting bagi umat Islam untuk menyatukan persepsi keislaman dan keluar dari konflik keagamaan yang berkepanjangan. Umat Islam harus menjadi solusi atas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Caci-mencaci dan bully-bully-an sesama umat Islam harus segera diakhiri. Sebab, pada prinsipnya kita semua adalah saudara. Musuh kita adalah kejahatan dan kekerasan atas nama agama.

FPI

Dalam beberapa minggu terakhir, kita menyaksikan sebuah lakon keberagamaan kita yang tak menyenangkan. Umat slam sesama umat Islam nampak seperti mau perang. Tentu, sebagai masyarakat dewasa, dalam keadaan genting, tak elok bagi kita untuk saling menyalahkan. Namun, jika dilihat secara ilmiah, maka FPI-lah yang beberapa minggu terakhir memercikkan api di tengah rerumputan kering.

Oleh karena itu, kita berharap FPI segera mengakhiri semuanya untuk bersedia menyesuaikan gerakan keislamannya dengan iklim dan kultur keindonesiaan. Yang sejurus kemudian bisa menyatukan persepsi dan pandangan keislaman dengan NU dan Muhammadiyah untuk berjuang bersama-sama, yakni menumpas paham dan ajaran radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Dengan melihat peristiwa berdarah di Sigi, Palu Sulawesi Tengah itu, sebagai umat Islam kita harus tersadar. Dan, tergerak untuk segera menyelesaikan itu semua. Tragedi berdarah seperti di Sigi itu bukan hal remeh dan tidak bisa diremehkan. Umat Islam harus bersatu dan bergegas segera. Sebab, bagaimanapun gerakan yang menimbulkan tragedi berdarah itu melibatkan nama Islam di dalamnya. Dan itu, harus kita maknai sebagai kegagalan kita sebagai umat Islam dalam mendidik umat Islam sendiri. Dalm peristiwa tregedi berdarah seperti di Sigi ini, umat Islam punya tanggung jawab moral untuk menyelesaikannya.

This post was last modified on 1 Desember 2020 8:53 PM

Alfie Mahrezie Cemal

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

1 hari ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

1 hari ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

1 hari ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago