Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

- in Narasi
7
0
Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital hari ini, pesantren telah membentuk jutaan santri dengan karakter moderat—penuh toleransi, cinta tanah air, dan berjiwa sosial tinggi. Di pesantrenlah nilai-nilai Islam dan kebangsaan tidak pernah dipertentangkan, tetapi justru disinergikan menjadi fondasi kuat bagi harmoni sosial Indonesia.

Namun kini, muncul fenomena baru yang mengkhawatirkan: upaya sistematis melemahkan pesantren melalui serangkaian narasi negatif, stereotip, dan bahkan kampanye yang dapat disebut sebagai “sindikat pembunuhan jati diri pesantren.” Sindikat ini tidak beroperasi secara terang-terangan, melainkan lewat opini, framing media, dan pergeseran makna yang subtil—mendistorsi peran pesantren dari pusat moral menjadi institusi tradisional yang dianggap “feodal”, “tertutup”, dan “tidak relevan dengan zaman.”

Moderasi sebagai DNA Pesantren

Pesantren tidak pernah lahir dari ide ekstrem. Ia tumbuh dari rahim kebudayaan Nusantara yang terbuka dan adaptif. Kiai sebagai figur sentral bukanlah penguasa absolut, tetapi guru kehidupan yang dihormati karena keteladanan, bukan karena jabatan. Sistem penghormatan terhadap kiai sering disalahartikan sebagai praktik feodalisme. Padahal, dalam konteks pesantren, penghormatan adalah bentuk adab dan etika ilmu.

Moderasi Islam di pesantren adalah buah dari kombinasi antara pemahaman fiqh, tasawuf, dan akhlak. Santri diajarkan untuk menyeimbangkan antara teks dan konteks, antara ibadah dan kemanusiaan. Nilai-nilai seperti tawassuth(jalan tengah), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) bukan jargon, melainkan praktik keseharian dalam kehidupan pondok.

Dalam konteks kebangsaan, pesantren adalah lokomotif moderasi. Tidak ada satu pun pesantren dalam sejarah yang mengajarkan permusuhan terhadap negara atau menganggap nasionalisme bertentangan dengan Islam. Dari KH. Hasyim Asy’ari hingga KH. Ahmad Dahlan, dari pesantren Tebuireng hingga Gontor, semua menegaskan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).

Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Serangan terhadap pesantren tidak selalu datang dengan bom atau senjata, melainkan melalui narasi yang merusak persepsi publik. Dalam kacamata media, pesantren kerap direduksi menjadi “dunia lain”—tradisional, kolot, bahkan “bermasalah.” Kasus boikot Trans7 baru-baru ini misalnya, menjadi potret bagaimana opini publik bisa diarahkan untuk memojokkan lembaga keagamaan dengan generalisasi dan stigma.

Fenomena ini bukan kebetulan. Ia bagian dari “soft attack” terhadap ekosistem pesantren—upaya menggerus legitimasi moralnya di tengah masyarakat. Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, seperti dijelaskan Berger dan Luckmann, realitas sosial dibangun melalui konstruksi makna. Ketika makna tentang pesantren dikonstruksi secara negatif melalui media dan percakapan publik, maka pelan-pelan jati diri pesantren sebagai benteng moral bangsa bisa terkikis.

Sindikat ini bekerja dalam logika yang sama dengan upaya delegitimasi simbolik: ketika pesantren dianggap tertinggal, maka nilai-nilai moderasi, kebijaksanaan, dan spiritualitas yang diajarkannya juga dianggap tidak lagi relevan. Padahal, di tengah dunia yang kian terpolarisasi oleh ideologi ekstrem dan populisme agama, pesantren justru menjadi benteng terakhir moralitas bangsa.

Pesantren kini menghadapi tantangan besar: bagaimana menjaga keaslian nilai sambil menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Banyak pesantren telah membuka diri dengan pendidikan digital, kewirausahaan, dan sains.

Namun, dunia luar seringkali tidak membaca dinamika ini. Mereka lebih sibuk mencari celah untuk mencurigai daripada memahami. Padahal, pesantren hari ini bukan hanya tempat mengaji kitab kuning, tetapi juga laboratorium sosial yang melahirkan generasi berkarakter moderat dan berwawasan kebangsaan. Ribuan santri terlibat dalam program literasi digital, deradikalisasi, dan dialog antaragama. Semua ini menunjukkan bahwa pesantren terus menjadi sumber energi moral dan sosial bagi bangsa.

Tantangan terbesar pesantren bukanlah modernisasi, tetapi perang makna. Ketika pesantren terus diserang dengan narasi negatif, maka publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap lembaga yang sejatinya paling konsisten menjaga nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.

Sebagaimana kata KH. Abdurrahman Wahid, “Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi tempat belajar kemanusiaan.” Dan selama kemanusiaan masih menjadi cita-cita bangsa, pesantren akan selalu relevan—tak peduli seberapa keras badai stereotip berusaha menghancurkannya.

Facebook Comments