Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

- in Narasi
2
0
Kampanye Ekologi dan Bencana Ekstremisme: Perlukah Diserukan Tokoh Lintas Agama?

Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda namun saling berkaitan. Krisis ekologis menimbulkan bencana alam, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi ruang hidup manusia. Pada saat yang sama, ekstremisme—baik agama, politik, maupun ideologis—mengerus rasa aman, memecah belah masyarakat, dan merusak tatanan sosial. Keduanya tidak lagi bisa dipahami sebagai isu sektoral, melainkan tantangan peradaban.

Perlu ditegaskan kembali bahwa kesadaran ekologi harus dijadikan sebagai isu moral, bukan sekadar ilmu. Karena kita sering menyaksikan isu lingkungan kerap dipersempit menjadi urusan teknis para ilmuwan atau aktivis. Padahal, krisis ekologis berakar pula pada nilai, gaya hidup, dan relasi manusia dengan alam.

Padahal, sebenarnya hampir semua tradisi agama memuat ajaran mengenai amanah terhadap bumi: Islam menekankan khilafah dan amanah, Kristen menekankan stewardship, Hindu dan Buddha menekankan harmoni kosmos, dan kearifan Nusantara mengenal konsep tatasan, tatanan, tuntunan untuk menjaga alam.

Ketika tokoh agama berbicara tentang ekologi, mereka tidak sekadar menyampaikan data, tetapi meneguhkan dimensi etis dari pelestarian lingkungan. Seruan moral seperti ini sering lebih mudah menyentuh hati masyarakat dibanding kampanye teknokratis. Karena itu, kampanye lintas agama dapat memperluas basis kesadaran ekologis tanpa memicu sekat identitas. Begitu juga dalam menyadarkan soal ektremisme.

Ekstremisme tumbuh subur ketika masyarakat mengalami kerapuhan identitas, ketidakadilan sosial, dan ruang dialog yang sempit. Radikalisasi kerap memanfaatkan retorika agama untuk membenarkan kekerasan, padahal substansi agama apa pun menolak tindakan destruktif.

Tokoh lintas agama memiliki kekuatan moral untuk menunjukkan bahwa “perbedaan” bukan ancaman, melainkan energi sosial. Jika para pemuka agama mampu tampil bersama, mereka menunjukkan model relasi yang damai, dialogis, dan dewasa—sebuah narasi tandingan terhadap retorika kelompok ekstrem.

Di banyak konteks global, kampanye lintas agama terbukti menurunkan tensi konflik, meredam misinformasi, dan mencegah stigmatisasi. Dalam konteks Indonesia yang plural, suara kolektif seperti ini tidak hanya relevan, tetapi sangat strategis.

Meski tampak berbeda, krisis lingkungan dan ekstremisme memiliki titik temu: keduanya adalah gejala keretakan relasi manusia—baik dengan alam maupun dengan sesama. Lingkungan rusak karena kerakusan dan perilaku eksploitatif; ekstremisme tumbuh karena ketidakmampuan membangun dialog dan empati.

Ketika alam rusak, bencana sosial kerap menyusul: perebutan sumber daya, migrasi paksa, ketimpangan ekonomi, hingga konflik lokal. Dalam kondisi demikian, ekstremisme menemukan ruang untuk menyebarkan ide-ide kebencian. Maka, kampanye ekologi juga menjadi kampanye merawat perdamaian.

Tokoh lintas agama sangat tepat untuk menyuarakan hubungan holistik tersebut: bahwa menjaga lingkungan berarti menjaga masa depan bersama, dan menolak ekstremisme berarti merawat martabat kemanusiaan.

Masyarakat Indonesia masih menempatkan pemuka agama sebagai figur yang dipercaya. Seruan mereka memiliki kekuatan membentuk perilaku massa. Pesan yang disampaikan bersama oleh Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, dan kepercayaan lokal akan lebih inklusif dan sulit dipolitisasi.

Dalam menghadapi ekstremisme, dialog lintas agama adalah vaksin sosial yang memperkuat ketahanan komunitas dari narasi kebencian. Ini yang tidak bisa dilakukan oleh kampanye sekuler semata: mengubah gaya hidup sebagai perintah moral.

Tentu kampanye lintas agama bukan tanpa risiko. Beberapa tantangan yang perlu dicermati antara lain:Politisasi isu yang dapat mengaburkan tujuan moral, Sikap eksklusif sebagian kelompok yang menolak kolaborasi lintas iman, Kurangnya kompetensi ekologis sehingga pesan hanya menjadi simbolis, Kelelahan publik (public fatigue) akibat kampanye yang bersifat seremonial.

Menghadapi bencana ekologis dan ekstremisme tidak cukup dengan pendekatan teknis atau penegakan hukum semata. Diperlukan perubahan nilai, kesadaran kolektif, dan keteladanan moral. Tokoh lintas agama—dengan legitimasi moral dan kapasitas membangun harapan—memegang peran strategis untuk menyerukan kampanye ini.

Facebook Comments