Dalih bahwa teks adalah landasan moral agama yang dibawakan tradisi keagamaan puritan tidak sepenuhnya salah. Sejatinya, teks seperti Al-Qur’an muncul dari sebuah entitas suci (Tuhan) dan sebuah risalah kenabian. Mengabaikan teks bisa jadi menanggalkan sakralitas risalah itu.
Namun demikian dalam konteks penafsiran, kekhawatiran bahwa interpretasi yang terlalu terikat pada teks akan kehilangan relevansinya dengan zaman. Di sisi lain, pendekatan yang terlalu bebas berisiko tercerabut dari akar wahyu itu sendiri.
Dalam situasi inilah intelektual Muslim kontemporer, Abdullah Saeed, menawarkan sebuah jalan tengah yang sistematis dan kompromostis. Sebuah koridor tafsir yang memungkinkan Al-Qur’an berbicara dalam konteks kekinian tanpa mengabaikan esensi pesannya. Ia menyusun apa yang disebut “hierarki nilai” dalam setiap teks Al-Qur’an.
Menurut Saeed, seorang mufasir progresif memiliki tugas krusial untuk mengidentifikasi dan menempatkan signifikansi yang tepat pada nilai-nilai yang terkandung dalam ayat yang dikaji.
Kegagalan dalam mengenali hierarki ini dapat berakibat fatal, yakni menghasilkan tafsir yang justru bertentangan dengan nilai-nilai universal Al-Qur’an yang paling fundamental. Nilai, dalam pandangannya, adalah esensi yang membentuk inti agama dan menjaga universalitasnya, sesuatu yang seharusnya diadopsi dan dipraktikkan oleh seorang Muslim.
Membedah Hierarki Nilai
Saeed memetakan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam lima tingkatan yang saling berkaitan. Tingkatan paling inti adalah nilai-nilai yang wajib (obligatory values), yang mencakup pilar-pilar akidah seperti keyakinan pada Tuhan dan para nabi, serta praktik ibadah fundamental seperti salat, puasa, dan zakat. Lapisan ini merupakan jantung ajaran Islam yang disepakati oleh seluruh umat.
Selanjutnya, terdapat nilai-nilai fundamental (fundamental values), yang secara berulang-ulang ditegaskan dalam Al-Qur’an, seperti perlindungan terhadap jiwa, harta, dan akal. Nilai-nilai ini seringkali selaras dengan apa yang oleh ulama klasik disebut sebagai Maqāṣid al-Syarī’ah dan bersifat universal karena menyangkut hakikat kemanusiaan.
Untuk menjaga nilai fundamental ini, Al-Qur’an menghadirkan nilai-nilai perlindungan (protectional values). Sebagai contoh, nilai fundamental perlindungan harta didukung oleh nilai perlindungan berupa larangan mencuri.
Pada tataran yang lebih spesifik, terdapat nilai-nilai implementasional (implementational values), yaitu ukuran-ukuran konkret untuk mempraktikkan nilai perlindungan, misalnya hukuman potong tangan bagi pencuri. Menurut Saeed, nilai pada level ini seringkali bersifat partikular karena sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial masyarakat saat itu.
Lapisan terluar adalah nilai-nilai instruksional (instructional values), yang berisi berbagai arahan, petunjuk, dan nasihat spesifik yang ditemukan dalam Al-Qur’an, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Nilai-nilai inilah yang memerlukan eksplorasi paling hati-hati untuk menentukan apakah ia berlaku secara universal atau terbatas pada konteks tertentu.
Hierarki tersebut untuk menentukan mana ayat yang sarat dengan partikularitas sehingga perlu dibaca ulang secara kritis dan mana yang tidak boleh diotak-atik.
Kisah Yusuf dan Pelajaran tentang Kekuasaan
Untuk melihat bagaimana kerangka ini bekerja, kita dapat mengambil contoh penafsiran QS. Yusuf ayat 55, di mana Nabi Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.
قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Menurut Saeed, ayat ini masuk dalam kategori nilai instruksional karena mengandung pesan implisit tentang penggunaan jabatan sebagai media untuk memperbaiki kondisi umat.
Konteksnya menjadi sangat menarik. Dalam kisah Nabi Yusuf, perintah ini muncul secara implisit. Namun, ketika ayat ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ yang saat itu berada dalam situasi politik yang sangat sulit pasca wafatnya Khadijah dan Abu Thalib, pesan tersebut menjadi lebih eksplisit. Ia menjadi sebuah nasihat bahwa kekuasaan dapat menjadi alat untuk mengatasi krisis dan kekacauan, sama seperti bagaimana Nabi Yusuf bersiap menghadapi krisis pangan di Mesir.
Lalu, bagaimana kita menentukan universalitas dari instruksi “meminta jabatan” ini? Saeed menawarkan tiga kriteria. Pertama, relevansinya dengan teks-teks paralel. Al-Qur’an di banyak tempat berbicara tentang kedudukan sebagai anugerah yang harus digunakan untuk menjaga kedamaian umat.
Kedua, signifikansinya dalam dakwah Nabi ﷺ. Terdapat hadis yang melarang meminta jabatan karena khawatir akan godaan hawa nafsu, namun ada pula hadis yang mengindikasikan kebolehan bagi mereka yang kompeten demi kemaslahatan umat. Hal ini menunjukkan bahwa konteks menjadi penentu.
Ketiga, relevansinya dengan misi dakwah Nabi saat itu. Situasi berat yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ di Makkah menuntut adanya strategi baru untuk mencari kekuatan dan legitimasi. Hijrah ke Madinah dapat dilihat sebagai upaya membangun basis kekuasaan untuk kemudian kembali ke Makkah dan melanjutkan misi perbaikan moral. Dari sini, kita dapat melihat bahwa tindakan spesifik “meminta jabatan” bersifat partikular dan sangat bergantung pada konteks. Namun, di baliknya terdapat sebuah nilai universal yang signifikan:
perlunya menggunakan kekuasaan untuk menjaga kedamaian dan mewujudkan kemaslahatan umat, serta memperbaiki kondisi moral dan akhlak masyarakat.
Dengan demikian, metode Abdullah Saeed tidak hanya menjembatani teks dan konteks, tetapi juga menyediakan sebuah “koridor” metodologis yang kokoh. Ia memungkinkan kita untuk menggali makna yang relevan bagi zaman kita, seraya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai universal Al-Qur’an yang abadi.