Judul Buku : Mengenal HTI Melalui Rasa Hati
Penulis : Ayik Heriansyah
Penerbit : Pustaka Harakatuna
Tahun Terbit : 2023 (Cet. Ke-2)
Tebal : xx + 278 Halaman
ISBN : 978-623-93356-4-9
Masih ingat HTI? Ormas dengan ideologi transnasional yang memiliki agenda menegakkan khilafah di NKRI itu telah bubar hampir satu dekade lalu. Namun, hingga kini, pergerakan dan gerilya mereka masih kentara. Para aktivis dan simpatisannya memanfaatkan berbagai momentum untuk mempromosikan khilafah, seperti aksi bela Palestina dan ibadah haji, yang mereka siarkan melalui berbagai platform meliputi Telegram, X, hingga YouTube.
Berdasarkan monitoring terkini, HTI diketahui masih melakukan gerilya bawah tanah alias sembunyi-sembunyi. Para aktivis Khilafah Tahririyah itu masih rutin mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas strategi indoktrinasi. Tidak berhenti di situ, mereka juga memanfaatkan platform digital sebagai sarana rekrutmen anggota dan simpatisan baru. Target mereka dalam setiap underground movement tersebut adalah generasi muda Muslim.
Kendati begitu, tidak seperti saat eksis pra-pembubaran, penindakan terhadap propaganda Khilafah Tahririyah kali ini punya tantangannya sendiri. Aparat, misalnya, sulit membuktikan keterlibatan mereka dalam setiap aksi terselubung, karena kamuflase mereka benar-benar halus hingga mendapat animo tinggi dari masyarakat. Mereka juga memiliki kemampuan adaptasi luar bisa sehingga sulit dilacak, sekalipun propaganda Khilafah Tahririyah terus berjalan.
Beredarnya video beberapa waktu lalu yang mengindikasikan masifnya HTI dalam melakukan indoktrinasi Khilafah Tahririyah adalah bukti konkret dari gerilya bawah tanah tersebut. Masih ingat acara metamorfoshow di TMII beberapa bulan lalu dengan ribuan peserta? Itu hanyalah contoh lainnya. Betapa banyak gerakan-gerakan HTI dan propaganda Khilafah Tahririyah yang tidak terungkap, sehingga menyingkapnya merupakan sesuatu yang niscaya.
Salah satu buku yang menyingkap gerakan HTI dan propaganda Khilafah Tahririyah-nya adalah buku berjudul “Mengenal HTI Melalui Rasa Hati” karya Ayik Heriansyah. Kang Ayik, demikian ia dikenal, merupakan mantan Ketua HTI DPD Bangka Belitung. Dalam buku tersebut, Kang Ayik menyingkap tabir palsu HTI, mengungkap jati diri mereka yang sebenarnya, serta menguraikan agenda politik terselubungnya: Khilafah Tahririyah.
“HTI adalah partai politik. Kepentingannya hanya kekuasaan… Adapun syariat Islam dan khilafah merupakan isu yang dipropagandakan HTI untuk menutupi ambisi mereka… HTI mengandalkan politik pencitraan dalam rangka meraih simpati umat. Mereka berkamuflase, menipu, dan menyebarkan kebohongan demi citra. Pada setiap momen, saya menyaksikan kesesatan HTI. Hal ini tidak sejalan dengan hati nurani,” terang Kang Ayik di Kata Pengantar.
Buku Kang Ayik merupakan kumpulan tulisan—antologi. Lima puluh empat judul yang ia tulis khusus menguak keburukan para aktivis Khilafah Tahririyah. Kalimat “Dengan Hati” pada judul buku merupakan personifikasi Kang Ayik sebagai mantan pihak insider HTI yang bahkan pernah menjabat sebagai amir daerah. Tetapi, buku ini juga menciptakan perspektif ganda yakniinsiderdanoutsider yang, tentu saja, tidak semua orang memilikinya.
Kang Ayik tahu persis kebobrokan HTI karena ia pernah jadi bagian di dalamnya. Pada saat yang sama, ia berupaya melakukan kontra-propaganda HTI itu sendiri. Sepuluh poin pertanyaan yang tidak pernah dijawab para aktivis Khilafah Tahririyah sebagai manifestasi kemusykilan HTI disingkap Kang Ayik secara lugas dengan bertolak dari pengalaman empirisvis-à-visintelektualitasnya.
Gerilya Politik HTI: Underground Movement
Buku setebal 278 halaman ini, kalau dipetakan, di samping mengulas autobiografi HTI seperti pada judul “Orang Lebanon Pembawa Hizbut Tahrir ke Indonesia”, mengandung dua topik besar: gerilya politik HTI dan propaganda para aktivisnya untuk merongrong pemerintah di satu sisi dan menarik umat ke cengkeraman mereka di sisi lainnya. Kedua topik tersebut dapat ditemukan, misalnya, pada judul “Melacak Arus Radikalisasi di Sekolah Kedinasan” dan “Dibohongi HTI Pakai Bendera Tauhid”.
Ada dua sektor yang HTI jadikan medan propaganda Khilafah Tahririyah.Pertama, sektor pendidikan. Kasus pemaksaan membaca buku aktivis HTI Felix Siauw oleh Kadin Pendidikan kepada seluruh siswa SMA/SMK se-provinsi Bangka Belitung yang sempat viral, sebagai contoh, merupakan bukti konkret bahwa sektor pendidikan berada dalam ancaman HTI. Kampus-kampus umum juga kerap menjadi sasaran empuk diseminasi propaganda mereka.
“Kampus menjadi medan tempur antargerakan Islam transnasional. Bukan saja di tingkat mahasiswa melainkan juga di tingkat dosen dan staf kependidikan. Setiap kelompok transnasional mempunyai orang khusus yang menjadi supervisor bagi gerakan mereka di kampus,” (hlm. 43).
Kedua, lembaga pemerintahan. Misalnya, ketika Kang Ayik mengulas ihwal ASN dari aktivis HTI (hlm. 24), maka gerilya politik mereka di ASN itu sendiri bukanlah kabar angin belaka. Kedudukan mereka di berbagai posisi strategis tidak sekadar menyokong eksistensi HTI, melainkan juga memberikan akses penuh terhadap indoktrinasi yang diagendakannya. Meminjam istilah Kang Ayik, “Di sini HTI tidak fair. Bisa dikatakan licik,” (hlm. 165).
Gerilya politik HTI yang mencakup berbagai kalangan tentu tidak dapat dipandang sesuatu yang remeh-temeh. Jika di lembaga pendidikan dan instansi pemerintahan mereka memiliki agennya sendiri untuk mempropagandakan Khilafah Tahririyah, maka NKRI sedang berada dalam bahaya. Selain itu, umat Islam akan tepecah-belah karena ulah mereka. “Serangan HTI berbahaya karena mengadu domba umat Islam dengan umat Islam lainnya,” (hlm. 199).
Propagandis yang Membahayakan Indonesia
Selain menyingkap politik HTI, Kang Ayik melalui buku ini juga menguraikan tipuan-tipuan dan propaganda aktivis Khilafah Tahririyah. Ia menulis, “Bajak Sejarah Nusantara, HTI Produksi Film Propaganda Politik,” yang menguraikan penipuan HTI yang mencatut nama tokoh demi menipu umat dan memanipulasi sejarah demi kepentingan utopis Khilafah Tahririyah. Kang Ayik menulis mengenai itu sebagai berikut,
“Bagi pejuang khilafah, propaganda-propaganda politik yang disampaikan oleh tokoh-tokoh mereka menjadi pembakar semangat untuk terus berjuang, tanpa peduli apakah itu nas syar’i atau ramalan dari badan inteligen asing. Propaganda-propaganda politik sangat mudah masuk ke dalam kesadaran naif pejuang khilafah,” (hlm. 248).
Penipuan para aktivis khilafah juga dilakukan secara masif dengan membuat narasi yang identitasnya disembunyikan. Tulisan “Narasi Jorok Nasjo” dan “Nasrudin Joha, Si Jubir Fiktif HTI, yang Merasa Jumawa, Siapa Sebenarnya?,” dua judul terakhir, menyingkap narasi kamuflase para aktivis Khilafah Tahririyah. Mereka menyuguhkan propaganda sembari menyembuyikan identitasnya dengan nama atau jabatan lain—guna mengelabui pembaca.
Bagi Kang Ayik, apa yang aktivis Khilafah Tahririyah propagandakan untuk NKRI tidak hanya berbahaya, tetapi juga menegaskan kepandiran mereka. “Mereka tidak sadar, sebenarnya mereka sekelompok orang yang bodoh, dungu dan tolol. Karena mereka menghabiskan usia dan harta untuk perkara yang haram yakni mendirikan khilafah di atas khilafah dan mau membai’at khalifah yang kedua setelah ada khalifah yang pertama,” (hlm. 272).
Khalifah pertama yang Kang Ayik maksud adalah presiden Indonesia, karena ia bertolak dari pemahaman bahwa khilafah bukan sistem spesifik, melainkan pemerintahan secara umum. Kendati tampak keras, dalam buku ini, Kang Ayik berhasil menyingkap kebobrokan HTI yang selalu berkamuflase dan berpropaganda seolah tengah membela Islam dan kejayaannya. Dan yang paling menarik adalah, semua uraian dan analisisnya menggunakan perspektif insider.
Banyak yang Kang Ayik ungkap dalam buku ini dan tidak akan dijumpai dalam buku-buku tentang HTI yang ditulis pihak outsider yang tidak pernah terlibat di dalamnya. Perspektif insider tersebut tidak hanya memperjelas keburukan HTI dan agenda Khilafah Tahririyah yang selalu menggerayangi masyarakat, tetapi juga menjadi rujukan dalam kontra-narasi dan kontra-propaganda HTI itu sendiri, terutama bagi pihak outsider yang concern dalam kontra-HTI.
Kendati demikian, beberapa judul dalam buku tidak lagi aktual, terutama dengan melihat berbagai infiltrasi HTI hari-hari ini dalam mempropagandakan Khilafah Tahririyah. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Kang Ayik menulisnya sekitar dua tahun lalu. Karena itu, dalam cetakan-cetakan yang akan datang, menambah beberapa judul yang up to date menjadi suatu keniscayaan. Sebab, sebagaimana HTI dan propagandanya yang selalu melakukan adaptasi dan aktualisasi diri, konter terhadap mereka perlu juga diselaraskan secara berkala.
Saat ini, HTI sebagai propagandis yang membahayakan Indonesia mendapat animo yang relatif besar di kalangan masyarakat terutama generasi muda. Dalam konteks itu, buku Kang Ayik ini menjadi oase untuk melawan propaganda Khilafah Tahririyah di satu sisi, dan menyelamatkan NKRI dari gerilya transnasionalisme di sisi lainnya. Mengonter underground movement para propagandis HTI memerlukan bekal yang cukup, dan buku ini dapat menjadi rujukan utama.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…