Sekolah dan Akar Kekerasan : Bagaimana Menyikapinya?

Sekolah dan Akar Kekerasan : Bagaimana Menyikapinya?

- in Narasi
4
0
Sekolah dan Akar Kekerasan : Bagaimana Menyikapinya?

“Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” – John Dewey

Pernyataan filosof John Dewey ini merangkum esensi terdalam dari sebuah institusi pendidikan. Sekolah bukanlah semata pabrik pencetak nilai akademis, melainkan makmal peradaban tempat seorang manusia muda pertama kali belajar menjadi bagian dari masyarakat. Oleh karena itu, urgensi mewujudkan lingkungan belajar yang harmonis dan inklusif melampaui kepatuhan regulasi semata; ia adalah keharusan filosofis, sosial, dan antropologis. Ketika sebuah sekolah gagal menumbuhkan rasa aman, ia bukan hanya gagal sebagai institusi protektif, tetapi ia gagal dalam upaya menanamkan martabat kemanusiaan.

Kita berada di persimpangan kritis, di mana ancaman terhadap generasi muda tidak lagi bersifat terpusat, melainkan telah beradaptasi, menyelinap melalui celah-celah digital dan kerentanan psikologis individu. Dari perspektif sosiologi pendidikan, kegagalan sekolah untuk mengatasi isu perundungan, kekerasan, atau rasa keterasingan merupakan kegagalan sistemik. Sekolah yang tidak inklusif, tempat ketidaknyamanan emosional bersemayam, secara ironis akan mendorong individu yang terasing mencari pengakuan dan ideologi alternatif di luar sistem—seringkali ideologi ekstremis yang menawarkan “rumah” palsu dan tujuan suci bagi perilaku kekerasan.

Teori Ekologi Perkembangan menunjukkan bahwa perilaku seorang anak dibentuk oleh berbagai lapisan lingkungan—mulai darimicrosystemdi dalam kelas hinggamesosystemyang melibatkan interaksi sekolah-keluarga. Ketika terjadi kekerasan, sesungguhnya yang sedang runtuh adalah seluruh ekosistem ini. Inklusivitas dan menurunnya kasus perundungan bukan hanya target sosial biasa, melainkan metrik efektivitas yang menunjukkan bahwa benteng ideologis internal siswa telah terbangun.

Sekolah sendiri juga berperan sebagai “benda budaya” yang memiliki mandat untuk mentransmisikan nilai-nilai terbaik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tujuan dari proses pewarisan ini bukan sekadar mengkomunikasikan informasi, melainkan yang terpenting adalah menanamkan pedoman etis dan sosial yang baku.

Mewujudkan kerukunan sosial di lingkungan pendidikan adalah upaya menata ulang skema nilai budaya agar anti-kekerasan menjadi norma sosial yang disadari. Hal ini menjadi vital di tengah arus disrupsi yang rentan dieksploitasi oleh narasi xenofobia dan chauvinisme yang berkedok isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Menghadapi ancaman fragmentasi kebangsaan ini, pendidikan harus menjadi makmal sosialisasi yang proaktif, menawarkan pendidikan multikulturalisme, toleransi, dan welas asih sebagai penawar ideologis. Tanpa akar budaya luhur yang kuat, kemampuan berpikir kritis yang dimiliki generasi muda rentan berubah menjadi skeptisisme tanpa kompas moral, yang justru menjerumuskan mereka pada nihilisme atau penerimaan ekstremisme transnasional.

Fondasi filosofis terpenting dalam menciptakan lingkungan yang menghargai martabat anak terletak pada pergeseran pedagogis. Prinsip humanisme, yang dipelopori oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow, secara tegas menuntut adanya belajar tanpa ancaman dan sikap saling menghargai tanpa prasangka. Filsafat ini memandang setiap anak sebagai pribadi unik yang tergerak menuju aktualisasi diri.

Dalam praktik sehari-hari, hal ini terwujud melalui adopsi Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Sebagai alternatif etis terhadap sistem disiplin yang bersifat menghukum (punitif), Keadilan Restoratif berfokus pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh perilaku salah. Hal ini sejalan dengan nilai musyawarah dalam Pancasila. Pendekatan ini menggantikan hukuman dengan pendekatan yang mengajak siswa memahami dampak tindakan mereka, sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawab dan empati. Inilah titik temu antara etika filosofis dan tujuan sosiologis: guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing (tarbawi), bukan penghukum, demi memulihkan harmoni interaksional.

Ekosistem pendidikan yang ideal harus menjadi perwujudan sinergi antara kerangka perlindungan struktural dan iklim afektif-kultural yang rukun. Kerukunan tidak datang secara kebetulan; ia adalah hasil dari internalisasi perilaku komunikasi positif yang disengaja di antara siswa.

Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan intervensi multi-level yang melibatkan secara proaktif seluruhmesosystem, khususnya orang tua dan komunitas. Keterlibatan orang tua harus diwajibkan melalui forum berkala untuk menyamakan persepsi, memastikan nilai-nilai positif seperti welas asih dan multikulturalisme ditransmisikan secara konsisten di rumah dan sekolah.

Tujuan akhirnya adalah melahirkan Generasi Berakar Kuat yang memiliki daya tahan internal kokoh, generasi yang bangga dengan jati diri dan budaya luhurnya, kritis dalam berpikir, dan berhati welas asih. Mereka adalah generasi yang mampu bernapas dengan teknologi tanpa kehilangan akal budi, menjadi agen perdamaian digital. Dengan menguatkan fondasi filosofis humanisme, menjadikan kerukunan sebagai norma antropologis, dan mengelola ekosistem sosial dengan empati, kita dapat memastikan bahwa ruang belajar adalah tempat aman di mana setiap anak tumbuh menuju potensi penuhnya.

Facebook Comments