Narasi

Radikalisme dan Parasit Beragama

Sejak dulu radikalisme memang selalu menjadi virus parasit dalam tubuh bangsa ini, termasuk dalam kaitannya dengan pemahaman agama. Makanya, jika tidak diantisipasi dan diobati bahayanya sangatlah mengerikan. Seseorang yang terpapar virus radikalisme akan berpandangan taklid buta, fanatik sempit, dan mudah mengkafirkan golongan lainnya yang tidak sepemahaman. Bahkan tidak hanya itu, pemahaman agama yang radikal inilah yang menyebabkan seseorang keliru memaknai jihad, rela mati dengan cara bom bunuh diri.

Zuly Qodir (2016) menyebutkan setidaknya ada beberapa faktor penyebab radikalisme, pertama, persoalan pemahaman keagamaan yang keliru. Hal tersebut disebabkan karena adanya keyakinan akan teks suci yang mengajarkan tentang terorisme dari kata jihad (Falahuddin, 2016). Pemahaman keagamaan yang keliru merupakan bagian penting dari kekerasan agama (radikalisme-terorisme).

Kita sudah kerap kali melihat langsung tentang pemahaman agama yang cenderung ekstrem dan radikal, mulai dari mereka yang sering kali menebar takfirisme, sampai kelompok yang rela berani mati dengan bom bunuh diri. Pemahaman yang sesat telah meracuni mereka, sehingga hal ini dianggapnya sebagai jihad dan mati syahid.

Kedua, radiakalisme juga dikaitkan dengan adanya faktor pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi, dan hukum. Sebuah rezim politik dan partai tertentu dianggap berlaku tidak adil kepada sekelompok masyarakat. Perhelatan akbar politik seperti Pilpres ataupun Pilkada di negeri ini juga kerap kali ditunggangi oleh aksi-aksi kelompok radikal. Mereka kerap kali membekingi para elit politik tertentu, dengan manuvernya yang bernuansa radikalisme agama. Adapun contoh kasus di bidang hukum bisa kita lihat pada gerakan radikal dan propaganda yang menunggangi aksi atau unjuk rasa polemik RUU-HIP. Bahkan, ada kelompok yang secara nyata berpandangan anti-Pancasila, berkamuflase seolah Pancasilais demi melancarkan maneuver kepentingannya.

Baca Juga : Melihat Ulang Jejak Ikhwanul Muslimin di Indonesia

Ketiga, radikalisme-terorisme juga buruknya dalam hal penegakan hukum, sehingga menimbulkan apa yang sering disebut sebagai ketidakadilan hukum. Penegakan hukum yang dianggap tidak berjalan dengan maksimum, sehingga menumbuhkan kemarahan dalam perkara hukum. Ketidakadilan hukum dianggap sebagai salah satu faktor yang masih dominan dalam sebuah negara termasuk di Indonesia, sehingga aparat penegak hukum sering menjadi sasaran kekerasan kaum radikalis-teroris. Peristiwa penyerangan dua anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora terhadap anggota kepolisian di Poso, Sulawesi Tengah (15/4/2020) adalah contoh kasus yang beberapa waktu lalu terjadi (Kompas, 15/4/2020).

Keempat, persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pendidikan yang lebih menekankan aspek indoktrinasi, tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah. Tengok saja, laporan Alvara Research Center yang mendiagnosis bahwa radikalisme dan ekstremisme sudah menyasar ke kalangan mahasiswa dan pelajar. Dengan menggandeng Mata Air Foundations, Alvara (2017) melakukan survei kepada 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar di Pulau Jawa berkaitan dengan jihad dan khilafah atau negara Islam. Hasilnya cukup mengejutkan, dimana mahasiswa setuju dengan paham negara Islam hampir 23,3 persen dan pelajar sekitar 16,3 persen. Kemudian, tentang jihad dan khilafah sebanyak 34,4 persen dan pelajar sebanyak 23,3 persen.

Selanjutnya, kalau menilik hasil penelitian tentang “Literatur Keislaman Generasi Milenial” yang dilakukan Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan PusPIDep Yogyakarta pada 2017, bahwa gerakan jihadi, tahriri, dan salafi mulai mendominasi di banyak Perguruan Tinggi, dimana gerakan tersebut menjadi embrio tumbuh suburnya radikalisme dan ekstremisme. Titik persoalannya sebenarnya adalah pendekatan yang digunakan oleh para penebar radikalisme dan ekstremisme kerap kali berseberangan dengan idiologi bangsa. Bahkan dalam tubuh kelompok ini melekat paham anti-Pancasila, ingin mengganti dasar negara dengan konsepsi-konsepsi Islam frontal. Model beragama seperti ini tentu akan mencoreng citra Islam yang sejatinya agama toleran dan rahmah bagi semesta alam. Oleh karenanya, sudah saatnya kita bergerak sigap dalam upaya memutus mata rantani dari menjalarnya parasit radikalisme dalam beragama. Sinergitas antara pemerintah, pemuka agama, dan masyarakat pada umumnya adalah faktor yang penting guna menangkal penyebaran virus radikalime ini.

This post was last modified on 4 September 2020 3:51 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

3 jam ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

3 jam ago

Jihad Ala Nusantara untuk Palestina

Pada April 2025, Internasional Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi para ulama dan cendekiawan…

3 jam ago

Sisi Gelap Propaganda Terorisme di Balik Fatwa Jihad ke Gaza

Pada 5 April 2025, komite Fatwa dan Yurisprundensi IUMS mengeluarkan fatwa lanjutan terkait kewajiban seluruh…

3 jam ago

Islam adalah Maslahat, Kajian Hadis La Darara wa La Dirar

Organisasi internasional yang menaungi ulama Muslim di berbagai belahan dunia International Union of Muslim Scholars…

1 hari ago

Mengapa (Tidak) Perlu Jihad ke Palestina?

International Union of Muslim Scholars (IUMS), sebuah organisasi dari ulama muslim dari perwakilan negara yang…

1 hari ago