Makna Sebuah Hijrah

Makna Sebuah Hijrah

- in Keagamaan
3490
0

Setiap tanggal satu Muharram, umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia memperingati tahun baru Islam. Peringatan ini merupakan sebuah nostalgia peristiwa spektakuler dalam sejarah kebangkitan Islam. Hijrah merupakan stating point dalam upaya pengembangan dakwah Islam setelah sebelumnya selama tiga belas tahun Nabi Muhammad berdakwah di Mekkah. Meskipun Mekkah adalah tanah kelahiran Nabi, namun di sana beliau justru kurang memperoleh respon positif dari kaumnya. Sejarah mencatat hanya beberapa keluarga dekat dan kerabat –terutama kalangan miskin- yang beriman dan meyakini kebenaran ajaran Islam.

Fenomena Hijrah bukan saja terjadi pada masa Nabi Muhammad, akan tetapi nabi-nabi sebelumnya juga berhijrah dari tempat asalnya ke tempat lain. Sebut saja diantaranya Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, dan Nabi Musa. Mereka berhijrah karena situasi sulit berupa penindasan yang dialami oleh umat pengikutnya dari para penguasa zalim. Situasi makin sulit ketika dakwah kurang ditanggapi oleh masyarakatnya. Hijrah jadi pilihan tepat untuk menghindari ‘amukan’ penguasa zalim yang akan membahayakan umat dan ajaran.

Di negeri Hijrah, Madinah, Nabi Muhammad mendapat sambutan positif dari warga. Mereka berbondong-bondong, mengelukan, dan menyambut baik kedatangan Nabi Muhammad. Dalam sejumlah kabar dan ramalan yang mereka terima, dengan kehadiran dan ajaran seorang Nabi itu mereka akan menjadi bangsa besar yang disegani. Dengan perasaan yang sangat bahagia, penduduk Madinah menyediakan segala keperluan para pengungsi Mekah (muhajirin) yang baru tiba. Sarana prasarana dakwah dipersiapkan untuk mendukung ajaran Nabi Muhammad.

Di kota ini Nabi mulai menata kehidupan beragama dan berbangsa termasuk mengatur berbagai kegiatan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat saat itu. Pertanian, peternakan, pasar dan berbagai kegiatan sosial lainnya tak luput dari perhatian Nabi. Sistem sosial dan ekonomi ditata sedemikian baik agar masyarakat Madinah mendapat –yang merupakan pengikutnya- mendapat kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Sebelum Hijrah kota Madinah dikenal dengan nama Yatsrib. Sesaat setelah memasukinya, Nabi segera merubah nama kota itu dengan sebuah nama yang mengandung makna filosofis, Madinah. Kala itu, orang-orang Arab masih sangat primitif dan hidup dalam suasana yang sangat sederhana atau biasa dikenal dengan sebutan kehidupan Badwi (Baduy). Penamaan Madinah adalah sebuah harapan agar para pengikutnya memasuki tahap baru kehidupan yang lebih maju atau yang dikenal dengan masyarakat yang berbudaya civilize. Madinah berarti sebuah kota, peradaban, dan kemajuan. Dengan demikian era hijrah menjadi sebuah tonggak penting perubahan gaya hidup dari kehidupan yang primitif ke kehidupan Maju atau dari Badwi ke Madinah.

Hijrah bukan saja berpindah dari satu tempat ke tempat lain sebagaimana yang dipahami selama ini. Lebih dari itu hijrah juga berarti merubah sikap dan gaya hidup atau gaya berpikir juga termasuk bagian dari proses hijrah seseorang dari yang kurang baik menuju ke yang lebih baik. Dari hidup yang tidak jelas menuju ke kehidupan yang lebih jelas dan lebih baik adalah sebuah hijrah. Seseorang yang berusaha mengubah hidupnya dari kehidupan yang penuh kegelapan menuju ke kehidupan yang terang benderang dengan penuh harapan dan masa depan yang lebih baik juga merupakan bagian dan intisari dari makna hijrah yang sebenarnya.

Lalu bagaimana dengan Hijrah yang didengungkan oleh kelompok tertentu akhir-akhir ini?

Hijrah yang dipahami oleh kelompok tertentu saat ini pada dasarnya sangat tidak beralasan dan tidak sesuai dengan konteks yang dijalankan oleh para nabi. Para Nabi berhijrah akibat tekanan dan penindasan yang dihadapi oleh pengikutnya dan ajaran yang dibawa ditolak oleh para penguasa di zamannya. Lebih dari itu, para penguasa bahkan tidak menginginkan adanya ajaran agama yang mengatur kebijakan penguasa, apalagi yang bertentangan dengan haluan politiknya.

Konteks hijrah yang benar berbeda dengan konteks hijrah yang dipahami saat ini oleh sejumlah kelompok tertentu. Asumsi tentang negara kafir, penguasa thogut, atau berbagai istilah lainnya tidak pas ditempelkan dengan penguasa-penguasa saat ini yang dipilih secara bebas dan damai serta melalui mekanisme yang telah disepakati bersama serta menjalankan falsafah-falsafah negara yang telah banyak mengadopsi nilai-nilai agama yang sangat positif seperti keadilan, persamaan hak, pendidikan, pengadaan lapangan kerja, perlindungan terhadap kaum dhuafa, pengadaan sarana umum, jaminan keamanan, kesehatan dan berbagai fasilitas lainnya yang ditujukan kepada umat manusia agar mereka bisa hidup nyaman, tenteram, damai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sungguh sangat naïf jika dalam kondisi seperti ini, sebagian pihak masih menganggap perlunya hijrah dan memilih jalan lain untuk mencapai keinginannya.

Facebook Comments