Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

- in Kebangsaan
2
0
Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks masyarakat Indonesia. Ia bukan sekedar hitungan tanggal Tujuh Belas atau sekedar nama bulan Agustus. Agustusan adalah sebuah praktek ritual kebangsaan tahunan sebagai pesta rakyat dalam memperingati kemerdekaan.

Setiap generasi memberi tafsir baru dalam merayakan kemerdekaan: dari upacara khidmat di istana, parade militer, hingga perlombaan panjat pinang, balap karung, makan kerupuk, atau sekadar acara keluarga di kampung. Semua itu adalah fragmen dari satu narasi besar: kemerdekaan yang diraih dengan darah dan pengorbanan, lalu dirawat melalui ritual-ritual kebangsaan yang tumbuh di tengah masyarakat.

Bila kita amati, peringatan 17 Agustus bukan sekadar seremoni. Ia telah menjelma menjadi sebuah “ritual kebangsaan” yang melampaui sekat sosial, agama, dan budaya. Dalam perspektif antropologi, misalnya Clifford Geertz melihat ritual sebagai “pola perilaku yang dipentaskan”. Ritual merupakan praktik kolektif yang mengikat emosi dan memori sebuah komunitas.

Ritual bukan sekedar tindakan, tetapi cara kelompok mengekspresikan sekaligus mengkomunikasikan makna-makna budaya yang terkandung di dalamnya. Begitu pula dengan 17-an, ia bukan hanya pesta rakyat, melainkan mekanisme simbolik yang mengingatkan kita bahwa Indonesia lahir dari persatuan, gotong royong, dan semangat pengorbanan. Maka, bentuk dan praktek ritualnya sangat beragam, tetapi dengan makna transenden yang sama; tentang syukur, loyalitas, pengorbanan dan persatuan.

17-an : Pesta Rakyat melalui Ritual Inklusif

Yang menarik, peringatan kemerdekaan Indonesia tidak pernah kering dari ekspresi budaya. Di satu daerah, ia diwujudkan dalamslametansebagai simbol doa bersama dan rasa syukur kolektif. Di tempat lain, masyarakat merayakannya dengan perlombaan unik yang penuh gelak tawa. Ada pula parade budaya, karnaval desa, hingga doa lintas agama.

Semua ekspresi budaya itu adalah tafsir kultural terhadap kemerdekaan. Praktek itu diwujudkan dengan sangat bebas dan merdeka. Tidak ada sekat suku, agama dan bahasa dalam mengekspresikan pesta rakyat ini. Inilah yang menjadikan peringatan 17 Agustus begitu inklusif: setiap kelompok masyarakat bebas merayakannya dengan cara mereka sendiri, tanpa kehilangan makna kebersamaan.

Bila kita memakai kaca mata Émile Durkheim, ritual kebangsaan semacam ini menciptakan solidaritas kolektif. Ketika masyarakat terlibat dalam upacara atau pesta rakyat, mereka sebenarnya sedang memperkuat “ikatan sosial” yang menjadi fondasi bangsa. Itulah mengapa lomba panjat pinang yang penuh tawa sekalipun bukan sekadar permainan; ia adalah simbol gotong royong, kerja keras, dan keceriaan bersama yang merekatkan warga dalam satu ikatan kebangsaan.

Merdeka Hakiki: Lebih dari Sekadar Seremoni

Namun, kita juga perlu merenung: apakah kemerdekaan hanya berhenti pada simbol dan perayaan? Merdeka hakiki tentu lebih dari itu. Ia adalah kebebasan dari kemiskinan, kebodohan, intoleransi, dan ketidakadilan. Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga negara merasa dihargai martabatnya, bebas dari diskriminasi, serta dapat mengakses pendidikan, kesehatan, dan keadilan sosial.

Ritual kebangsaan berfungsi menjaga memori kolektif bangsa. Tetapi bila ritual tidak disertai dengan perwujudan nilai-nilai kemerdekaan dalam kehidupan nyata, maka ia berisiko terjebak dalam formalitas belaka. Karena itu, pesta rakyat 17 Agustus harus selalu dimaknai sebagai pengingat sekaligus penggerak: bahwa kemerdekaan adalah pekerjaan rumah yang belum selesai.

Peringatan 17 Agustus juga memberi ruang bagi bangsa Indonesia untuk melakukan “dialog identitas”. Masyarakat tidak hanya mengenang sejarah, tetapi juga merundingkan kembali apa arti merdeka di zaman ini. Di era digital, misalnya, ritual kebangsaan meluas ke ruang daring: dari pemasangan twibbon merah-putih, konten kreatif bertema kemerdekaan, hingga kampanye solidaritas di media sosial. Ini menunjukkan bahwa ritual kebangsaan selalu beradaptasi dengan konteks zaman, tanpa kehilangan makna utamanya: mengikat bangsa dalam ingatan kolektif.

Fungsi kultural ritual memiliki fungsicommunity engagement: menghadirkan rasa kesetaraan, kebersamaan, dan kedekatan di antara anggota masyarakat. Hal itu sangat nyata dalam pesta rakyat 17 Agustus. Sejenak, sekat kelas sosial luluh: pejabat, petani, buruh, dan anak-anak kampung bisa tertawa bersama dalam lomba sederhana. Inilah wajah Indonesia yang autentik, sebuah bangsa yang lahir dari kebersamaan.

Di usia ke-80 tahun, Indonesia memang sudah jauh melangkah. Namun, api kemerdekaan tidak boleh padam hanya karena bangsa terjebak dalam euforia seremonial. Ritual kebangsaan harus terus diperkaya dengan makna-makna baru yang relevan dengan tantangan zaman. Misalnya, lomba atau acara 17-an dapat ditautkan dengan kampanye lingkungan, literasi digital, atau solidaritas antaragama. Dengan begitu, pesta rakyat bukan sekadar nostalgia, melainkan energi moral yang menggerakkan bangsa menuju merdeka hakiki.

Facebook Comments