KIARA SANDING, CINTAI ALAM TEGAKKAN PERDAMAIAN

KIARA SANDING, CINTAI ALAM TEGAKKAN PERDAMAIAN

- in Narasi
6538
0

Kondisi alam, baik secara demografis maupun iklim, seringkali luput dari perbincangan terkait dengan isu perdamaian, padahal kondisi alam sangat menentukan pembentukan pola pikir seseorang. Dalam ilmu sosiologi bahkan dijelaskan bahwa lokasi tinggal suatu masyarakat turut mempengaruhi karakter hidup masyarakat tersebut; masyarakat yang hidup di daerah pesisir misalnya, tentu memiliki karakter yang berbeda dengan masyarakat agraris. Karenanya, perbincangan terkait isu perdamaian di masa modern seperti saat ini tidak akan bisa lepas dari isu perubahan iklim yang belakangan semakin meresahkan masyarakat.

Isu perubahan iklim bahkan telah menjadi salah satu perkara terpenting di abad ini. Berbagai kejadian terkait dengan kondisi iklim yang tidak menentu seperti banjir, kekeringan, longsor, gelombang tinggi, dan peningkatan muka air laut semakin sering terjadi dengan intensitas yang terus meningkat, hingga kerugian dalam bentuk korban jiwa, ekonomi, hingga ekologi semakin sulit diperhitungkan.

Kurang pekanya sebagian masyarakat dalam merespon dan menghadapi perubahan iklim membuat sejumlah pihak menyadari perlunya langkah-langkah strategis untuk mendorong penyadaran dan aksi nyata mayarakat untuk menghadapi isu ini. Hal ini lah yang kini sedang dilakukan oleh Pemerintah Kebupaten Bandung. Sebagaimana dilansir laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup, dalam upaya menyikapi dampak perubahan iklim pada saat ini, pemerintah Kabupaten Bandung mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Upaya ini kemudian mendapat apresiasi yang tinggi dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH).

Adalah Kampung Kiara Sanding di Desa Pulosaren, Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung Selatan yang menjadi bagian dari program tersebut. Kampung yang pada tahun 2013 lalu ditetapkan statusnya menjadi Program Kampung Iklim (ProKlim) oleh Kementerian Lingkungan Hidup tersebut merupakan contoh perkampungan yang telah mengembangkan dan melaksanakan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang di tingkat lokal mencakup antara lain, pengendalian banjir, longsor atau kekeringan, peningkatan ketahanan pangan, penanganan kenaikan muka air laut, pengendalian penyakit terkait iklim, pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah, penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi, budidaya pertanian rendah emisi GRK, peningkatan tutupan vegetasi, dan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Kampung yang populer dengan landmark Gunung Tiga-nya ini terletak sekitar 60 KM dari pusat Kota Bandung, atau 3 jam perjalanan darat itu bisa diakses melalui jalur jalan raya Pengalengan, Kopo Sayati, atau Jalan Pasir Bambu Gambung. Keberadaan kelompok masyarakat dan tokoh lokal di kampung tersebut yang mampu berperan sebagai penggerak pelaksanaan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta ketersediaan instrumen pendukung lainnya merupakan faktor penting yang meluluskannya dalam proses penilaian usulan ProKlim.

Kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan masyarakat di kampung tersebut antara lain; penanaman pohon atau penghijauan, pengelolaan sampah, pertanian organik, perlindungan mata air, penanaman pohon di sekitar mata air, pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas, pemanenan air hujan, teknik wanatani, lahan sawah terasering, tumpang sari dan pemanfaatan pekarangan untuk tanaman sayur dan obat-obatan.

Satu sisi yang menarik dari kampung ini, selain respon adaptifnya terhadap perubahan iklim adalah religiusitas kampung ini sendiri, yang juga menyandang gelar Kampung Alquran. Ini sekaligus membuktikan bahwa nilai-nilai keagamaan seseorang atau kelompok pada mestinya dapat meningkatkaan sensitifitas terhadap kelestarian alam, sebagai amanah yang telah dititipkan oleh Sang Pencipta kepada mereka.

Megahnya Masjid al-Bayyinah menjadi simbol ketaatan beragama masyarakat kampung Kiara Sanding. Ini pula yang sampai mendorong Program Pembibitan Penghafal Alquran (PPPA) Darul Qur’an Jawa Barat memproyeksikan kecamatan Pangalengan, Kiara Sanding utamanya, menjadi salah satu daerah konsentrasi penerapan program wilayah pelosok, yakni program pendidikan, dakwah dan sosial yang berbasis program Mobile Qur’an. Dasep (50) guru kelas empat SDN Mulyasari mengaku telah membiasakan muridnya untuk membaca Alquran 15 menit sebelum pelajaran pertama dimulai. Selain rumah tahfiz, di kampung ini juga berdiri SDN Mulyasari sejak tahun 1981 di atas lahan seluas 4055 m2.

Pengaruh nilai religiusitas di Kiara Sanding ini antara lain terdapat dalam motivasi masyarakat untuk menjaga kebersihan dan memanfaatkan potensi lokal (tidak tabdzir), sebagai bentuk integrasi dengan alam. Nilai tersebut diwujudkan di antaranya melalui kerja bakti mingguan untuk bersih-bersih kampung dan tasyakuran saat tiba musim panen raya. Kang Eman, warga lokal, menggambarkan integrasi masyarakat dengan alam ini sebagai berikut:

“Warga sini mah makan dari alam, dan kerja untuk alam. Istilahnya, minhu wa ilayhi. Contohnya kita makan lele dari tambak, lalu buang air besar di tambak dimakan lele, lelenya dimakan lagi sama kita. Kitu! Haha…”

Eksistensi Kiara Sanding sebagai kampung ProKlim sekaligus menegaskan peran penting masyarakat dalam menahan laju perubahan iklim dan mencegah terjadinya bencana, hal ini mengingat masyarakat merupakan pihak yang berada paling dekat dan terdampak langsung dari perubahan iklim dan bencana. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan berada di lokasi ketika bencana terjadi, namun setelah bisa mengatasi, mereka pun akan segera pergi. Dengan demikian, masyarakat yang senantiasa berada di lokasi hendaknya bisa bersahabat dengan alam agar tidak menjadi bencana.

Meski begitu, harus diakui bahwa pembangunan kota adalah yang paling krusial bagi penanggulangan perubahan iklim. Untuk diketahui, pada tahun 2030 diperkirakan penduduk urban lebih dari 60 persen. Dalam hal ini beberapa kota sudah beradaptasi, di antaranya adalah Tarakan, Kalimantan Utara, yang memulihkan Mangrove, sedangkan Bogor menggunakan bahan bakar dari limbah minyak goreng untuk angkutan publik. Begitu pula Bandar Lampung, Semarang, dan Probolinggo. Dalam konteks ini regulasi sebagai panduan daerah untuk mengarusutamakan adaptasi perubahan iklim dalam pembangunannya menjadi penting.

Sejauh ini, masyarakat yang tinggal di kondisi lingkungan dan iklim baik cenderung memiliki karakter yang baik pula. Suasana hidup yang tenang membuat masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu untuk mensyukuri nikmat tuhan, sehingga perasaan tidak puas atau bahkan kecewa jarang menemukan momen untuk unjuk diri. Hal ini semakin menunjukkan pentingnya menjaga alam, karena alam yang baik membantu kitauntuk berpikir dan berlaku baik pula

Facebook Comments