Mujahid Demokrasi: Kisah Affan Kurniawan dan Seruan Solidaritas Tanpa Anarkisme

Mujahid Demokrasi: Kisah Affan Kurniawan dan Seruan Solidaritas Tanpa Anarkisme

- in Narasi
2
0
Mujahid Demokrasi: Kisah Affan Kurniawan dan Seruan Solidaritas Tanpa Anarkisme

Hari Kamis, 28 Agustus 2025, seharusnya menjadi hari demonstrasi damai bagi rakyat untuk mengekspresikan kegelisahan mereka terhadap kondisi ketidakadilan. Namun, di tengah keriuahan dan emosi massa di depan gedung DPR, terjadilah tragedi mengerikan. Seorang pengemudi ojek online (Ojol), Affan Kurniawan (21 tahun), menghembuskan nafas terakhirnya karena terlindas oleh kendaraan taktis Brimob.

Duka mendalam tidak hanya dialami oleh keluarga Almarhum Affan. Kejadian ini menjadi duka seluruh masyarakat Indonesia. Affan adalah tulang punggung keluarga yang menopang hidup orang tuanya dengan gigih, meski dalam kondisi sulit.

Affan sebelumnya bekerja sebagai penjaga keamanan. Ia kemudian beralih menjadi mitra Gojek karena pekerjaan ini relatif fleksibel dan memungkinkan ia menjaga keluarga. Di tengah gelombang demonstrasi yang melanda Jakarta. ia tengah mengantar makanan di kawasan Bendungan Hilir.

Affan bukan pejuang politik. Ia pun tidak sedang mengikuti demonstrasi, tetapi terjebak di tengah kerusuhan saat hendak menghantarkan makanan. Tetapi Affan tercatat sebagai “mujahid demokrasi”. Nyawanya terenggut saat ia hanya berusaha lewat di tengah gelombang demontrasi.

Kematian Affan mengundang simpati luas. Gojek dan Grab dengan cepat menyampaikan belasungkawa dan berjanji memenuhi hak keluarganya. Tidak hanya di dalam negeri, WNI di luar negeri pun menggelar aksi solidaritas di AS, Jerman, dan Australia.

Duka ini menumbuhkan energi protes lebih luas. Massa meluap ke jalan, menuntut keadilan dan reformasi. Namun, di tengah gelombang emosi itu, muncul jebakan: mudah terpancing anarkisme, vandalisme, dan perusakan fasilitas umum—berita penjarahan dan pembakaran terjadi di berbagai daerah.

Di sinilah pentingnya solidaritas yang produktif harus menjadi catatan. Menunjukkan kesedihan dan solidaritas terhadap Affan sebagai mujahid demokrasi harus dilakukan dengan tuntutan dengan damai, tanpa merusak. Demonstrasi tanpa perusakan, doa tanpa dendam, kritik tanpa kekerasan. Itulah semangat yang menegaskan negara hukum, bukan negara kekerasan.

Kebersamaan masyarakat sipil, mahasiswa, dan serikat buruh menunjukkan satu hal: kita bisa meredam emosi dengan aksi yang beradab. Massa menyanyikan lagu perjuangan, menggelar tabur bunga, dan menyalurkan dukungan lewat suara. Ini adalah kebersamaan, bukan kebencian.

Ketika aparat segera merespons dengan permintaan maaf terbuka. Polisi menyampaikan permintaan maaf dan jaminan investigasi, sementara pemerintah melalui pimpinan negara hadir dalam solidaritas ini menumbuhkan harapan bahwa negara masih bisa menjawab luka kolektif dengan tindakan nyata.

Kematian Affan mengingatkan kita bahwa demokrasi butuh peradaban hati. Kita menuntut keadilan, tapi juga menegaskan bahwa kita berbeda dari mereka yang membenci. Kita membakar semangat demokrasi, bukan memecah belah rakyat.

Affan bukan hanya nama di berita. Ia simbol rentan bagi keadilan, panggilan bagi kita untuk menjaga rasa kemanusiaan, dan pengingat bahwa rakyat kecil juga heroik dalam kejujuran dan kerja kerasnya.

Semoga Affan dikenang bukan sebagai korban kekerasan aparat, melainkan sebagai katalis solidaritas yang bersih dari anarkisme. Mujahid demokrasi sejati bukan yang menghancurkan, tapi yang menyatukan bangsa—dengan hati, pikiran, dan keberanian.

Facebook Comments