Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

- in Narasi
7
0
Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang dinilai banyak pihak menghina kiai dan pesantren secara umum. Kasus ini bergulir panjang dan merembet kemana-mana. Di sejumlah wilayah, kelompok santri dan organisasi sayap Nahdlatul Ulama, seperti Ansor dan Banser menggelar demonstrasi memprotes tayangan Trans7 tersebut.

Di Jakarta, massa yang mengatasnamakan Banser dan Ansor menggeruduk kantor Trans7. Dalam orasinya, salah seorang pendemo dengan lantang mengancam “jangan sampai kader-kader Banser menggorok leher kalian. Halal darah kalian jika mengolok-olok ulama NU! Penggalan orasi itu viral di media sosial dan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat.

Di saat yang berbarengan, Banser dan Ansor juga menggeruduk rumah Youtuber Stavanus Young yang membuat konten opini yang cenderung membela Trans7. Ansor dan Banser memaksa Stevanus menandatangani surat pernyataan minta maaf dan mengunggah video permintaan maaf. Melihat dua kejadian itu, kita patut menyayangkan mengapa ketidakpuasan atas konten Trans7 itu merembet ke arah ancaman dan persekusi?

Ancaman gorok leher dan darah halal yang keluar pada demo Banser dan Ansor di depan Kantor Trans7 rasanya berlebihan dan tidak patut. Sampai saat ini, ulama-ulama sepuh NU cukup bijak menyikapi kasus Trans7 ini, dan tidak buru-buru mengeluarkan fatwa halal darah apalagi gorok leher. Pernyataan itu provokatif dan lebih condong pada karakter kelompok ekstrem yang gemar mengancam dan mengumbar frase halal darahnya.

Dua perilaku itu jelas bukan cerminan santri Nusantara. Identitas santri Nusantara dibentuk oleh intelektualitas, spiritualitas, dan juga cara pandangnya dalam menyikapi perbedaan. Secara intelektualitas, santri Nusantara itu dicirikan dengan pengetahuannya yang mendalam pada sumber keislaman klasik, seperti kitab kuning dan sebagainya. Sedangkan dari sisi spiritualitas, santri Nusantara identik dengan ajaran tasawuf yang mengedepankan sikap welas asih dan kerendahhatian dalam menyikapi segala sesuatu.

Demikian pula dalam konteks menyikapi perbedaan pandangan, santri Nusantara terbiasa memakai cara dialogis. Tradisi Bahtsul Masail dalam lingkungan NU terutama di pesantren adalah cerminan bagaimana iklim intelektualitas di NU dibangun di atas basis demokratisasi pengetahuan.

Di forum Bahtsul Masail, setiap isu sosial, politik, agama dibahas dan diperdebatkan secara terbuka. Di forum, setiap individu berbeda pandangan saling beradu sumber dan argumen. Namun, setalah mereka kembali layaknya saudara, minum kopi bersama, tertawa-tawa saling bertukar humor. Itulah santri Nusantara yang sesungguhnya; cerdas, kuat secara referensi, jago debat, namun punya selera humor yang cerdas.

Karakter ini mulai hilang. Frase gorok leher dan halal darah yang muncul dalam orasi adalah bukti hilangnya selera humor santri. Cara-cara intimidatif itu sama sekali tidak mencerminkan karakter santri Nusantara yang elegan.

Disinilah pentingnya santri hari ini untuk menghadirkan kembali karakter santri Nusantara yang cerdas, kritis, elegan, dan berselera humor tinggi. Tantangan santri kekinian adalah mencari titik temu alias jalan tengah antara kritisisme di satu sisi dan fanatisme di sisi lain.

Kritisisme memang tidak boleh diartikan sebagai kebebasan untuk menyuarakan apa saja, yang akhirnya justru berujung pada narasi murahan, dan bertendensi menghina seperti tampak pada tayangan Trans7.

Namun, santri juga tidak boleh terjebak pada fanatisme buta yang menjerumuskan pada sikap ekstrem seperti mengancam atau mengintimidasi pihak yang berbeda pandangan. Kritisisme dan fanatisme harus diterjemahkan ulang agar tidak berbenturan satu sama lain.

Sebagai kaum intelektual, santri seharusnya menunjukkan sikap dan perilaku yang lebih rasional dan proporsional menyikapi kasus yang belakangan ini ramai. Aksi demonstrasi dengan intimidasi apalagi persekusi jelas hanya akan memperkeruh persoalan. Intimidasi dan persekusi bukan karakter santri Nusantara. Cara itu justru lebih lekat pada kelompok ekstremis.

Santri memang tidak akan menoleransi penghinaan pada kiai, ulama, atau pesantren. Namun, santri juga tidak seharusnya menoleransi intimidasi dan persekusi. Kaum santri harus membangun jembatan antara kritisisme dan fanatisme.

Artinya, di satu sisi kaum santri harus mengedukasi masyarakat terutama media massa apa hakikat kritisisme. Kaum santri harus memberikan pencerahan bahwa kritisisme tidak seharusnya mewujud pada narasi hinaan atau kebencian.

Di sisi lain, kaum santri atau lingkungan pesantren secara umum juga perlu terbuka dan membuka diri pada otokritik terhadap feodalisme dan fanatisme di pesantren. Kaum santri tidak boleh menutup mata tentang adanya fenomena fanatisme dan feodalisme di lingkup pesantren.

Bagaimana pun juga fanatisme dan feodalisme adalah sis gelap pesantren yang harus direformasi. Ekosistem pesantren tidak bisa terus berlindung di balik narasi “tradisi” yang dipakai untuk membenarkan relasi kuasa yang timpang antara guru dan murid tersebut.

Kasus Trans7 ini sudah menggelinding terlalu jauh dan semakin kencang. Dan, seperti lazimnya fenomena bola liar, pasti ada yang selalu berusaha mengambil keuntungan dari hal tersebut. Kaum santri jangan mau diprovokasi untuk mengumbar kebencian apalagi kekerasan pada pihak yang berbeda. Kaum santri jangan mau ditunggangi oleh kelompok yang hanya berkepentingan memperkeruh suasana.

Jangan sampai, kasus Trans7 ini ditunggangi kelompok ekstremis untuk mengadu domba umat dan memecah belah bangsa. Jangan sampai, sebuah tayangan di televisi memicu gelombang mobokrasi seperti mencuat beberapa tahun lalu pada momen Pilkada DKI Jakarta 2017.

Facebook Comments