Dzating manungsa luwih tuwa
tinimbang sifating Allah
—Ronggawarsita.
Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun, Jawa Timur, terdapat sebuah kisah tentang diaspora segolongan orang yang menjadi simpul darah dari tiga kerajaan di pulau Jawa: Pajajaran, Cirebon, dan Mataram Islam.
Secara politis, mereka berdiaspora ketika kerajaan Mataram Islam tengah mengalami beberapa kali pergolakan: penumpasan gerakan para ulama yang berpusat di Tembayat oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1630 (yang kemudian diteruskan dengan pembangunan kompleks pemakaman Sunan Tembayat oleh raja yang sama pada tahun 1633 sebagai sebentuk wujud rekonsiliasi), peristiwa “bedhahing Plered” atau Perang Trunajaya pada tahun 1677, dan Perang Jawa pada tahun 1825-1830).
Namun, bagi saya, ternyata bukan semata tersebab perang, diaspora para ulama yang merupakan campuran darah Pajajaran-Cirebon-Mataram Islam itu juga menyingkapkan sebuah persebaran “spiritualitas” yang berkecenderungan lebih ekologis-humanis atau tak semata menempatkan Tuhan sebagai sosok yang sama sekali asing.
Beberapa di antara ulama diaspora itu adalah Ki Ageng Kembang Sore (Pacalan, Magetan), Ki Ageng Rendeng (Kincang, Madiun), dan Kyai Dalangan (Jiwan, Madiun). Mereka semuanya itu dikenal sebagai para penganut ataupun pembabar tarekat Syattariyah-Akmaliyah yang mendominasi spiritualitas di Jawa sejak abad ke-17 dan kemudian identik dengan tarekat Perang Jawa yang dikobarkan oleh Sang Heru Cakra atau Pangeran Dipanegara.
Dengan merujuk pada gelar atau nama, ulama-ulama itu memang terkesan dekat dengan alam dan manusia. Taruhlah Ki Ageng Kembang Sore yang konon ketika pagi menyemai benih ataupun menanam, sore pun akan berbunga. Atau Ki Ageng Rendeng yang konon dapat mendatangkan hujan semau-maunya tak peduli ketika musim pun tengah kemarau. Pun Kyai Dalangan yang konon merupakan keturunan ulama-kelana Cirebon, Syarif Muhammad atau Pangeran Pamelekaran yang dikenal pula sebagai Pangeran Dalang. Ketiganya, konon, dianggap dekat dengan kalangan petani yang saban harinya berurusan dengan alam.
Dalam tradisi Syattariyah, Akmaliyah, dan juga kejawen (mengingat kedua tarekat itu memang terkenal lekat dengan kebudayaan Jawa), Tuhan memang lebih banyak dihayati sebagai sebuah kehidupan (Urip). Maka ketika Tuhan itu lebih dihayati sebagai sebuah kehidupan, Ia sama sekali tak lepas dari diri kita dan juga lingkungan di sekitar kita.
Dalam bahasa agama, barangkali konsepsi semacam itu dikenal sebagai sifat imanen Tuhan yang konon mendasari doktrin tasawuf dan tarekat. Namun, di Jawa, ketika kehidupan itu dinyatakan sudah bangkit, transendensi dan imanensi itu sudah tak lagi berlaku. Hal ini kerap diungkapkan oleh para dalang wayang sebagai “jauh tanpa bayangan, dekat tanpa senggolan,” yang jelas-jelas dapat dipahami sebagai tak transenden ataupun imanen.
Dengan demikian, ketika transendensi Tuhan dapat membuahkan sebentuk radikalisme keagamaan (kesan kebengisan dari sifat keagungan Tuhan) dan imanensi Tuhan dapat melahirkan permisifisme keagamaan (kesan keindahan ataupun kebebasan namun minim komitmen), maka spiritualitas Ki Ageng Kembang Sore, Ki Ageng Rendeng, dan Kyai Dalangan, yang berupaya Njumenengake Urip atau menyemai kehidupan, mengayun di antara keduanya, dan terbuhul pada istilah “Ingsun” dimana secara etis bahwa segala hal yang terjadi dalam kehidupan adalah tergantung padanya.
