Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

- in Narasi
6
0
Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan oleh tokoh revolusi Iran, Ali Syari’ati. Istilah ini merujuk pada individu atau kelompok intelektual yang tidak sekedar fasih dan cakap secara teoretis, namun kaum intelektual yang hadir secara langsung sekaligus berkomitmen untuk berkontribusi menyelesaikan problem keumatan. Rausyanfikr adalah intelektual organik, yakni para cerdik pandai yang tidak tinggal di menara gading pengetahuan, namun hadir dan terlibat dalam transformasi sosial, politik, dan agama.

Kaum santri layak menyandang gelar rausyanfikr karena sejumlah alasan. Pertama, kaum santri adakah golongan terdidik, memahami ilmu umum dan terutama ilmu agama. Mereka memiliki pengetahuan untuk mengakses sumber pengetahuan dari rujukan klasik seperti kitab kuning dan sebagainya.

Kedua, kaum santri dikenal mampu berkiprah di mana saja. Mulai dari sektor pendidikan yang menjadi core value-nya, sektor bisnis, politik, akademik, dan sebagainya. Banyak santri hari ini yang memiliki profesi beragam membuktikan bagaimana santri memiliki resiliensi dalam hal kemandirian.

Ketiga, kaum santri memiliki modal sosial berupa jaringan seluruh Nusantara untuk menggerakkan perubahan atau transformasi. Jaringan santri tersebar di seluruh Nusantara dan semua itu merupakan modal penting untuk mentransformasikan arah kebangsaan.

Sebagai kaum rausyanfikr yang tidak hanya pintar namun juga tercerahkan, kaum santri telah menunjukkan dedikasi dan kontribusinya pada bangsa. Sejak awal perjuangan kemerdekaan, kaum santri telah menyumbang andil tidak sedikit pada revolusi melawan penjajah. Santri hadir secara langsung dalam perang fisik melawan penjajahan.

Di era pembentukan negara baru pasca merdeka, lagi-lagi kaum santri menjadi pemegang saham terbesar dalam perumusan ideologi dan konstitusi negara. Disini tampak kelihaian kaum santri dalam menegosiasikan dan mengkompromikan antara agama di satu sisi dan negara di sisi lain. Lahirnya NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 adalah wujud kedewaaan kaum santri dalam mengakomodasi berbagai kepentingan dan perbedaan pandangan terkait bentuk negara dan sistem pemerintahan serta hukum.

Peran itu masih berlanjut dalam momen-momen penting seperti peristiwa politik 1960an, Reformasi 1998 hingga sekarang. Dalam konteks ini, nasionalisme santri kiranya tidak lagi diragukan. Kini, santri menghadapi tantangan untuk memperluas perannya tidak hanya di ranah domestik namun juga global.

Di titik ini, kaum santri harus mampu berbicara dalam bahasa global (global language). Tidak hanya secara harfiah harus menguasai bahasa internasional, namun lebih penting adalah memahami atau related dengan isu-isu global kontemporer. Semisal isu keamanan global, ekonomi hijau, hak asasi manusia, kerusakan alam, pembangunan keberlanjutan, dan sebagainya. Santri harus mampu mendialogkan antara khazanah keilmuan klasik dengan isu kontemporer global.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menjadi inkubator para santri tentu wajib menjadi ekosistem pendidikan yang adaptif pada nilai dan prinsip modernitas. Bukan hanya sekedar mengadaptasi ilmu umum ke dalam kurikulum, atau adaptasi teknologi sebagai penunjang pembelajaran. Namun, juga mengadaptasi paradigma berpikir modern yang rasional dan kritis. Dua hal ini yang selama ini cenderung absen dari kultur pendidikan pesantren.

Maka, peran pesantren harus diarahkan untuk melahirkan sosok-sosok yang nantinya bisa berperan sebagai agen perubahan dan perdamaian dunia. Khazanah peradaban pesantren yang kaya akan disiplin keilmuan, idealnya mampu melahirkan paradigma etika global baru yang berorientasi pada kemanusiaan dan perdamaian. Santri harus menginisiasi diplomasi global yang berbasis pada kekayaan ilmu pengetahuan Islam era klasik sampai abad pertengahan yang menjadi ciri khas pesantren.

Hari Santri Nasional bukan sekadar hadiah pemerintah pada kaum santri. Buka pula sebuah kado politik untuk mengail simpati kaum Nahdliyin. Santri memiliki cakupan yang luas, bukan sekadar para penimba ilmu di pesantren, apalagi merujuk ciri fisik, kaum sarungan dan berpeci. Santri adalah siapa saja yang memiliki kecintaan pada ilmu sekaligus komitmen pada kemanusiaan. Hari Santri Nasional adalah perayaan yang reflektif.

Perayaan yang mengajak kita untuk memetakan ulang jalan ke depan. Ketika dunia semakin terkoneksi oleh internet, tidak ada satu individu atau kelompok yang bisa mengisolasi diri atau mempertahankan identitasnya sebagai makhluk domestik. Disadari atau tidak, semua dari kita adalah makhluk global. Termasuk kaum santri.

Ada banyak isu global kontemporer yang menunggu peran santri. Misalnya, isu keamanan dan konflik di Timur Tengah. Isu perubahan iklim yang berdampak pada ancaman kelangkaan pangan dan bencana sosial di masa depan. Serta gejolak politik dan sosial dunia akibat menguatnya konservatisme di sejumlah negara.

Dalam isu-isu itu, kaum santri harus menunjukkan komitmennya untuk hadir dan terlibat dalam penyelesaian masalah. Sebagai Rausyanfikr, kaum santri harus menjadi problem solver, bukan trouble maker.

Facebook Comments