Puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ke-13 menyisakan beberapa catatan penting. Antara lain, indeks radikalisme dan terorisme di Indonesia menunjukkan tren positif. Terbukti dengan menurunnya angka aksi terorisme sejak 2016-2023.
Namun, catatan lainnya justru menjadi alarm warning, yakni menguatnya tren radikalisasi di ranah daring. Hal ini menandai bahwa gerakan radikalisme dan terorisme pada dasarnya tidak mati. Mereka hanya mengubah strategi dari pendekatan keras (hard approach) ke pendekatan lunak (soft approach). Catatan penting lainnya adalah tingginya kerentanan paparan radikalisme di kalangan anak muda dan perempuan.
Fenomena radikalisasi daring sebenarnya bukan barang baru. Dalam buku berjudul Kaum Muda Milenial; Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme, Chaider S. Bamualim menjelaskan bahwa di era digital seperti sekarang proses indoktrinasi paham radikal dan ekstrem terutama di kalangan remaja dan kaum muda memang telah mengalami pergeseran drastis.
Hari ini, setiap individu bisa saja terpapar paham radikal tanpa didoktrin langsung, namun hanya dengan mengonsumsi konten-konten yang menjurus pada pandangan keagamaan radikal dan ekstrem. Inilah yang disebut sebagai fenomena self-radicalization. Kondisi ini dilatri oleh faktor yang memang kompleks.
Dominasi Narasi Konservatisme Beragama di Kanal Dunia Maya
Kaum muda dan perempuan memang tengah mengalami kebangkitan ghiroh beragama. Ada semacam dorongan untuk mempelajari agama lebih mendalam dan mempraktikkan ajarannya secara lebih komprehensif. Ironisnya, ghiroh beragama itu kerap tidak sejalan dengan pengetahuan keagamaan yang mumpuni.
Akhirnya, mereka memilih jalan instan dengan belajar agama melalui dunia maya. Perilaku yang demikian ini cenderung problematik, karena wacana keagamaan di dunia maya harus diakui masih didominasi oleh narasi konservatif bahkan radikal.
Di sisi lain, organisasi teror global semacam ISIS juga mengubah strategi indoktrinasi dan rekrutmennya ke arah daring. Doktrin ISIS tentang khilafahisme dan jihad kini disebarluaskan melalui dunia maya. Cilakanya lagi, siapa pun bisa berbaiat pada ISIS hanya melalui komunikasi digital.
Fenomena radikalisme daring (online radicalism) inilah yang patut diwaspadai. Ketika kita menepuk dada karena berhasil menekan angka kasus terorisme, nyatanya di dunia maya virus radikalisme dan ekstremisme justru merajalela tak terkendali.
Disinilah pentingnya kita membangun sistem kesiapsiagaan nasional berbasis digital untuk menangkal gelombang kebangkitan radikalisme daring. Diperlukan sinergi lintas sektor untuk memastikan terwujudknya sistem yang solid demi meredam arus radikalisme daring. Mulai dari instansi pemerintah, organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, sampai unit paling kecil dari masyarakat, yakni keluarga.
Pemerintah dengan wewenang yang dimilikinya bertanggung jawab untuk menyusun regulasi hukum yang secara spesifik mencegah meluasnya radikalisme daring di dunia maya. Harus ada undang-undang atau semacamnya yang secara khusus mengatur ihwal konten-konten di media sosial. Jangan sampai, atas nama kebebasan berekspresi dunia maya justru menjadi sarang penyebaran paham anti-kebangsaan.
Sinergi Antar-Sektor dalam Membangun Kesiapsiagaan Nasional Berbasis Digital
Jejaring medsos yang menjadi sarana penyebaran video pendek seperti Instagram, YouTube, maupun TikTok harus benar-benar diawasi. Ketiga platform media sosial itulah yang selama ini menjadi lahan subur tumbuhnya paham keagamaan radikal-ekstrem. Pemerintah perlu menyusun regulasi yang tegas agar media sosial tidak dijadikan sebagai sarana kelompok radikal menyebarkan gagasan dan merekrut anggota baru.
Di titik ini, kita juga perlu menjalin kerjasama dengan perusahaan penyedia platform media sosial tersebut. Tersebab, mereka juga sebenarnya bertanggung jawab terhadap penyebaran konten-konten radikal tersebut. Tersebab, fakta menunjukkan bahwa perusahaan penyedia Platform media sosial tersebut acapkali terkesan membiarkan konten-konten yang menjurus pada radikalisme dan ekstremisme agama.
Sejalan dengan itu, organisasi keagamaan berhaluan moderat idealnya juga berperan aktif dalam merebut kembali wacana keagamaan di ranah digital dari kaum konservatif-radikal. Ormas keagamaan moderat seperti NU dan Muhammadiyah perlu mendorong para ulama, kiai, ustad, atau penceramah agama untuk mengampanyekan corak beragama moderat-nasionalis di kanal-kanal maya.
Media digital telah menjadi arena pertempuran wacana keagamaan yang baru saat ini. Jika ingin menang, maka kaum moderat mau tidak mau harus aktif membangun narasi keberagaman toleran dna inklusif di dunia maya.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah bagaimana keluarga sebagai inti dari masyarakat wajib menjalankan peran pengasuhannya secara optimal. Pendidikan terkait nasionalisme, moderasi beragama, serta literasi digital idealnya dimulai dari keluarga. Orang tua berperan penting dalam mendidik anaknya untuk memiliki kesadaran berinternet sehat. Salah satunya tidak mengakses konten-konten yang bernuansa radikalisme-ekstremisme.
Sinergi antar-pihak dan sektor ini penting untuk membangun kesiapsiagaan nasional melawan gelombang kebangkitan radikalisme daring. Kita tidak boleh lagi kecolongan seperti dimasa lalu. Kita tidak boleh bersikap permisif pada konten-konten berbau radikalisme dan ekstremisme di dunia maya. Sikap permisif itu bisa menjadi bom waktu yang membahayakan di masa depan.