Radikalisme bukanlah problem yang baru di dunia Islam. Akar radikalisme bahkan sudah ada sejak zaman nabi, namun pada gilirannya radikalisme mengalami proses transformasi. Lebih dari satu dasawarsa terakhir, radikalisme cukup diidentik dengan generasi muda, hal ini karena arus gerakan radikal banyak dilakukan oleh anak muda yang notebene disebabkan minim pengetahuan agamanya. Munculnya radikalisme diketahui akibat dari kurangnya wawasan keagamaan dan lemahnya budaya kritisisme di kalangan anak muda.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya berjudul Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya (2004) mengupas tentang bahaya dan pentingnya mewaspadai radikalisme yang umumnya dilakukan oleh Anak Muda. Buku ini menyoroti genealogi radikalisme yang mengjangkiti kalangan anak muda Muslim di berbagai belaha dunia, yang kemudian menyebabkan konflik tak berkesudahan di masyarakat. Menurut Yusuf Qardhawi setidaknya terdapat delapan penyebab radikalisme di kalangan generasi muda, di antaranya:
Pertama, lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama yang kemudian menjadi penyebab dari radikalisme dalam alam pikiran anak muda. Pemikiran radikal bisa muncul jika anak muda merasa dirinya masuk dalam golongan para ulama, padahal masih banyak ajaran agama yang bekum diketahuinya. Ia padahal mengetahui sedikit ilmu, namun merasa dirinya memiliki samudera keilmuan. Inilah awal mula gerakan radiklisme yang sangat berbahaya.
Kedua, memahami nash secara tekstual. Generasi muda umumnya memaknai secara harfiah teks-teks dalam Al-Quran dan Sunnah tanpa berusaha memahami kandungan dan maksudnya. Sehingga ini seringkali menjadi spirit mereka dalam bergerak secara radikal. Ini tentu menjadi penyebab utama aksi radikalisme di kalangan pemuda muslim.
Ketiga, memperdebatkan persoalan lateral, sehingga mengesampingkan persoalan besar. Generasi muda biasanya memperdebatkan persoalan remeh temeh, seperti mencukur jengggot, memanjangkan pakaian, menggerakkan jari dalam tasyahhud, penggunaan fotografi yang mengundang perdebatan panjang. Padahal masih banyak persoalan yang lebih esensial dari pada masalah furu’iyah semacam itu.
Keempat, berlebihan dalam mengharamkan suatu perkara. Dalam konteks ini, karena dangkalnya pengetahuan agama generasi muda muslim, khususnya yang terafiliasi radikal, mereka seringkali bersikap keras, berlebih-lebihan dalam berpendapat tentang perkara haram.
Misalnya ada dua pendapat tentang fiqh, yang satu memubahkan sedangkan yang lain memakruhkan, maka mereka cenderung memiliih yang makruh. Jika sebagian pendapat memakruhkan, sedangkan yang lain mengharamkan, maka mereka cenderung mengharamkan. Perspektif mereka sangat keras dalam konteks pengetahuan keagamannya.
Kelima, Kerancuan konsep. Generasi muda muslim umumnya rancu dalam memahami prinsip-prinsip syariatnya. Kelompok ini umumnya tidak memiliki cita rasa bahasa dan tidak mengerti makna dibaliknya, mereka pada gilirannya susah membedakan antara yang hakiki dan majaz. Oleh karenanya, banyak persoalan yang tumpang tindih, banyak jalan yang tidak jelas. Mereka tidak bisa membedakan keimanan yang mutlak dan mutlaknya keimanan, antara keislaman yang sempurna dan sekedar keislaman.
Keenam, Mereka mengikuti ayat mutasyabihat dan meniggalkan ayat muhkamat. Nash mutasyabihat mengandung konotasi makna dan tidak pasti maksudnya. Sedangkan muhkamat mengandung makna yang jelas, indikasinya nyata dan pengertiannya terbatas.
Sejak awal kemunculan kelompok radikal, mereka konsisten mengikuti nash-nash yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat. Tindakan seperti ini tidak dilakukan oleh orang yang mantap keilmuan agamanya, melainkan dilakukan oleh orang yang dalam hatinya penuh dengan penyimpangan.
Ketujuh, anak muda mempelajari ilmu hanya dari buku dan mempelajari Al-Quran hanya dari Mushaf. Hal ini menjadi kelemahan mereka, karena tidak mau mendengarkan alasan orang yang berbeda pendapat dengannya, tidak mau berdialog, dan tidak pernah membuka kesempatan bagi pendapat mereka agar diuji, di mana pendapat itu bisa ditimbang, dikonfrontasikan, dan ditarjih dengan pendapat yang lainnya.
Kedelapan, anak muda lemah pengetahuan tentang sejarah, realitas, sunnatullah, dan kehidupan masa kini. Mereka menginginkan apa yang tidak mungkin terjadi, mencari apa yang tidak mungkin ada, dan mengangankan apa yang tidak mungkin terwujud. Salah satunya adalah cita-cita mereka dalam mendirikan khilafah yang merupakan ideologi yang tidak relevan di berbagai negara.
Deradikalisasi Online
Dari delapan faktor genealogi radikalisme di kalangan anak muda Muslim itulah menurut Qardhawi bahwa anak muda Muslim ke depan perlu semakin memperkuat wawasan keagamaannya dan jangan terlalu fanatis terhadap kelompoknya atau kepada suatu ideologi tertentu. Perlu adanya sikap inklusifisme dalam beragama, sehingga radikalisme bisa direduksi.
Dalam konteks ini, menguatnya radikalisme di kalangan generasi muda tidak bisa dilepaskan akibat dari konsumsi informasi berbasis online. Maka radikalisme di ranah online menjadi penting untuk direduksi melalui penguatan literasi keagamaan moderat dan pengarusutamaan moderasi beragama.
Pemerintah dalam hal ini perlu memfasilitasi melalui media cyber online untuk mewaspadai narasi radikal dengan deradikalisasi berbasis online. Di sisi lain, media online keislaman di Indonesia perlu semakin memperbanyak counter narasi radikal, sehingga narasi keislaman berbasis online bisa lebih meneduhkan. Mengingat semakin banyak wawasan keagamaan Islam di kalangan anak muda Muslim, maka akan semakin mengarah kepada pemahaman keislaman yang moderat. Itulah yang dibutuhkan oleh masa depan Islam di indonesia dan dunia.