Pada Januari 2015, sebuah respons menarik muncul di dunia maya sebagai tanggapan atas penyanderaan dan pembunuhan dua jurnalis Jepang oleh ISIS, yaitu seorang gadis manga bernama ISIS-chan.
Diciptakan oleh sekelompok aktivis siber Jepang yang menamakan diri mereka “ISIS Vipper” , ISIS-chan adalah karakter perempuan muda bermata hijau, mengenakan pakaian hitam khas militan memegang pisau untuk mengupas melon.
Meme ISIS-chan menantang militerisme yang dipraktikkan secara setara oleh ISIS dan oleh para aktor yang melakukan perang melawan teror, yaitu Barat. Pesan anti-militeristik menonjol di banyak gambar ISIS-chan, terutama secara visual, dengan mengganti pejuang jihadi dengan gadis manga yang imut, dan dengan mengganti senjata api dan pisau pemenggal dengan pisau buah untuk mengiris melon.
Pesan tersebut, dalam beberapa versi, juga ditekankan dalam teks yang disisipkan ke dalam meme, yang menyatakan, misalnya, “Saya berharap perdamaian dan melon dan kebahagiaan” (Hall 2015). ISIS-chan ada di sini untuk memberitahu bahwa pisau adalah untuk memotong melon, bukan untuk kekerasan.
Tujuannya sederhana, untuk “mengebom” hasil pencarian gambar Google untuk ISIS, menggantikan citra propaganda kekerasan dengan sosok gadis manga yang imut. Jadi jika netizen mencari kosa kata ISIS, yang muncul adalah karakter ISIS-chan mereka yang imut, alih-alih propaganda teror.
Kampanye ini dapat dilihat sebagai bentuk amunisi tandingan citra dalam sebuah peperangan gambar, di mana humor dan kreativitas yang diasosiasikan dengan sosok gadis digunakan untuk menantang representasi hiper-maskulin dan brutal dari para jihadis.
Manga dan anime penting masuk pertimbangan karena dua alasan. Pertama, mereka adalah bagian penting dari budaya visual massa Jepang kontemporer, dan kedua, mereka memainkan peran yang semakin penting dalam lanskap media global media elektronik dan cetak yang membentuk imajinasi kolektif, pengalaman, dan perasaan orang-orang di seluruh dunia.
Fenomena ISIS-chan memberikan ilustrasi bagaimana budaya populer, khususnya meme internet, dapat dimobilisasi sebagai alat kontra-narasi yang efektif. Saat itu, ISIS dan kelompok ekstremis lainnya sangat bergantung pada penyebaran propaganda visual yang dirancang untuk menanamkan rasa takut, menunjukkan kekuatan, dan merekrut pengikut baru melalui citra “keren jihad” (jihadi cool).
Mereka membangun sebuah merek yang menjual fantasi maskulinitas dominan dan tak terkalahkan. Strategi ISIS-chan secara langsung menyerang fondasi citra ini. Dengan menggunakan humor, kampanye tersebut bertujuan untuk melucuti taring ISIS, membuat kelompok yang ingin tampil menakutkan menjadi terlihat konyol.
Meme, dengan sifatnya yang partisipatif, mudah disebar, dan terus-menerus direproduksi dalam berbagai bentuk , menjadi wahana yang ideal untuk komunikasi subversif semacam ini. Peluang penerapan strategi serupa di Indonesia sangatlah besar, namun tetap menuntut adaptasi budaya. Indonesia memiliki salah satu populasi pengguna internet dan media sosial paling aktif di dunia, dengan budaya siber yang sangat dinamis dan kental dengan humor.
Kekuatan ini merupakan modal sosial yang signifikan untuk membangun kampanye kontra-radikalisasi organik dari bawah ke atas. Alih-alih mengadopsi karakter manga, kontra-narasi di Indonesia dapat memanfaatkan ikon-ikon budaya populer lokal yang lebih relevan, seperti karakter pahlawan lokal, karakter fiksi budata, kutipan dari lagu dangdut, atau bahkan format meme yang sedang tren.
Namun, tantangan strategisnya kini telah berevolusi. Jika ISIS-chan dirancang untuk melawan citra ISIS yang secara eksplisit menampilkan kekerasan dan horor, lanskap propaganda ekstremisme telah berubah. Kelompok neo-ISIS dan sel-sel afiliasinya saat ini tidak lagi selalu mengandalkan citra seram untuk menarik simpati. Sebaliknya, mereka menjadi lebih adaptif, lentur, dan cenderung menampilkan wajah yang lebih “friendly” atau ramah. Propaganda mereka kini sering kali menyusup melalui konten dakwah populer, narasi gaya hidup Islami, hingga isu-isu keadilan sosial yang dikemas secara profesional dan mudah diterima oleh audiens muda.
Dengan pergeseran ini, maka tujuan kontra-narasi juga harus diorientasikan ulang. Tujuannya bukan lagi sekadar meruntuhkan citra seram dan berkuasa, melainkan membongkar fasad “ramah” dan “normal” yang coba dibangun oleh kelompok ekstremis modern. Tantangannya adalah bagaimana menggunakan humor dan kreativitas budaya populer untuk menelanjangi ideologi berbahaya yang tersembunyi di balik konten yang tampak bersahabat dan dekat dengan keseharian masyarakat.
Peluang penerapan strategi serupa di Indonesia sangatlah besar, didukung oleh kekuatan digital yang luar biasa. Indonesia merupakan negara dengan populasi pengguna internet terbesar keempat di dunia, dengan 221,56 juta pengguna internet atau 79,5% dari total populasi pada tahun 2024. Jumlah pengguna media sosial mencapai 139 million pada Januari 2024, yang setara dengan 49,9% dari total populasi. Lebih mengejutkan lagi, orang Indonesia menghabiskan rata-rata 7 jam 42 menit online setiap hari, dengan 3 jam 18 menit khusus untuk media sosial.
Platform media sosial yang paling populer menunjukkan keragaman yang menarik: YouTube memiliki 139 juta pengguna, Instagram 100,9 juta pengguna, dan TikTok 126,8 juta pengguna berusia 18 tahun ke atas. Setiap pengguna menghabiskan sekitar 29 jam 6 menit di WhatsApp, 26 jam 48 menit di YouTube, 15 jam 24 menit di Instagram, dan 29 jam di TikTok setiap bulannya. Angka-angka ini menunjukkan tingkat keterlibatan digital yang sangat tinggi, menciptakan ekosistem yang ideal untuk penyebaran konten viral, termasuk meme.
Pada akhirnya, keberhasilan kontra-radikalisasi di masa depan tidak lagi cukup diukur dari kemampuan menciptakan konten viral. Keberhasilan akan bergantung pada kecerdasan dan presisi dalam merancang narasi tandingan yang mampu membedah dan mengekspos kontradiksi dalam propaganda “ramah” tersebut, tanpa terjebak dalam penistaan agama yang kontra-produktif.
Ini menuntut kearifan budaya dan ketajaman analisis untuk memerangi ekstremisme yang kini tidak lagi menakutkan, melainkan justru berusaha membaur dengan keseharian masyarakat.