Membedah Strategi Propaganda ISIS Generasi Baru di Indonesia

Membedah Strategi Propaganda ISIS Generasi Baru di Indonesia

- in Narasi
3
0
Membedah Strategi Propaganda ISIS Generasi Baru di Indonesia

Penangkapan sejumlah terduga teroris oleh Densus 88 beberapa hari lalu seharusnya tidak lagi kita baca sebagai sebuah kemenangan taktis semata. Sebaliknya, setiap penangkapan semacam ini harus kita maknai sebagai sebuah biopsy, sebuah pengambilan sampel jaringan untuk mendiagnosis penyakit yang jauh lebih dalam dan sistemik. Penyakit itu adalah infiltrasi narasi propaganda ISIS generasi baru, di mana strateginya telah berevolusi dari pendahulunya.

Jika Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) era 2014 adalah sebuah entitas dengan strategi layaknya invasi militer konvensional seperti merebut teritori, mengibarkan bendera, dan merekrut tentara secara terbuka, maka ISIS hari ini beroperasi seperti sebuah malware komputer yang canggih. Ia tidak lagi bertujuan untuk menaklukkan sistem dari luar, melainkan untuk menginfiltrasi dan merusak operating system (OS) sebuah bangsa dari dalam. OS bangsa kita adalah sebuah sistem yang dibangun di atas kesepakatan luhur: harmoni antara agama dan negara, yang termanifestasi dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.

Inilah target utama malware propaganda tersebut. Tujuannya bukan lagi mengajak audiens untuk perang, melakukan hijrah ke sebuah negara “khilafah” yang kini hanya tinggal puing, melainkan untuk merusak system yang telah dibangun para pendahulu bangsa, yakni menciptakan distrust kepada pemerintah dan membangun kekacauan antar umat beragama.

Fase Pertama: Infiltrasi dan Injeksi Keraguan

Jaringan terdesentralisasi yang beroperasi di ruang maya memungkinkan mereka menyebarkan narasi layaknya virus, merasuk ke dalam alam bawah sadar yang bisa merusak fungsi kerja otak. Mereka tidak lagi menyebarkan video eksekusi yang brutal secara masif, yang mudah ditangkal. Sebaliknya, mereka melakukan injeksi keraguan dengan narasi propaganda secara konsisten.

Narasi yang mereka tanamkan mengeksploitasi celah-celah kerentanan dalam diskursus publik. Isu kebijakan publik yang sensitif, ketidakpuasan ekonomi, atau sentimen keagamaan yang terluka, semuanya menjadi vulnerability yang bisa dieksploitasi. Mereka akan membingkai kebijakan pemerintah, apapun itu, sebagai “serangan terhadap Islam”, dan “kontradiktif dengan sistem Syariah”. Tujuannya tak lain, yakni untuk memutus tali kepercayaan umat kepada pemerintah.

Taktik ini secara efektif menciptakan cognitive dissonance di benak audiens. Mereka dipaksa untuk memilih: menjadi Muslim yang taat atau menjadi warga negara yang patuh? Padahal, para pendiri bangsa dan ulama telah membuktikan bahwa keduanya adalah satu tarikan napas yang sama. Dengan merusak premis dasar ini, mereka berhasil menanamkan virus keraguan di level paling fundamental.

Fase Kedua: Stochastic Terrorism

Setelah keraguan tertanam, fase berikutnya membangun polarisasi di masyarakat. Ketika sebuah institusi negara, seperti Kepolisian, BNPT menjadi objek ketidakpercayaan, maka setiap tindakannya, akan dilihat sebagai bentuk penindasan. Ketika otoritatif negara tidak lagi dipercaya, maka umat akan lari mencari “alternatif” ke sumber-sumber anonim di internet yang justru merupakan corong propaganda mereka.

Di sinilah letak kegeniusan strategi mereka, menciptakan kekacauan tanpa harus mengotori tangan secara langsung. Mereka tidak perlu lagi memberi perintah untuk mengebom, cukup dengan terus memompa narasi kebencian dan polarisasi hingga pada satu titik akan ada individu atau kelompok yang “terinspirasi” untuk bergerak sendiri. Fenomena ini dikenal sebagai stochastic terrorism, sebuah term terorisme yang dipopulerkan oleh Julliette Kayem (2019) yang mengisyaratkan bahwa aksi terorisme dapat muncul akibat adanya retorika public yang bermusuhan, meningkatkan resiko adanya kekeraran bermotif invidu yang tidak dikenal, atau aksi terorisme yang tidak diperintah.

Dengan adanya polarisasi di masyarakat, memungkin munculnya stochastic terrorism yang bisa saja menyasar orang yang rentan terpapar ideologi terorisme.

Kontra-Narasi Sebagai Pembaruan Sistem

Menghadapi ancaman virus ideologi, pendekatan kita tidak bisa lagi sekadar “antivirus” yang memblokir konten atau menangkap pelaku. Tentu hal itu penting, tapi itu adalah tindakan kuratif. Kita memerlukan sebuah mitigasi dan behavioral firewall yang komprehensif.

Behavioral firewall dapat dibangun dengan membangun imunitas warga digital. Kita harus mendidik masyarakat, bukan hanya tentang “apa yang benar dan salah”, tetapi “bagaimana cara membedakan yang benar dari yang salah, mana propaganda dan tidak”. Ini adalah soal literasi digital kritis: kemampuan untuk mengidentifikasi bias, mengenali rekayasa emosi, dan memverifikasi sumber informasi sebelum membagikannya.

Pada akhirnya, pertarungan melawan sisa-sisa jaringan ISIS hari ini bukanlah perang melawan sebuah organisasi, melainkan perang untuk mempertahankan integritas dan ideologi kebangsaan kita. Setiap penangkapan adalah pengingat bahwa virus itu nyata dan aktif. Namun, keamanan jangka panjang hanya bisa dicapai jika setiap individu di negeri ini sadar akan perannya sebagai pengguna yang cerdas, yang mampu mendeteksi dan menolak setiap upaya untuk merusak ideologi bangsa.

Facebook Comments