Ledakan bom rakitan yang mengguncang SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025 mengejutkan banyak pihak. Tidak ada yang menyangka bahwa seorang siswa, yang sebelumnya dikenal pendiam dan tertutup, mampu merakit bahan peledak dan berniat melukai orang lain di lingkungan sekolah. Polisi menemukan bahwa pelaku adalah korban perundungan atau bullying yang telah lama menanggung luka batin akibat perundungan yang dialaminya.
Namun yang lebih mengejutkan, dari hasil penyelidikan ditemukan pula simbol-simbol seperti “For Agartha” dan “14 Words” yang berkaitan erat dengan ideologi ekstrem kanan dan supremasi ras di dunia maya. Fakta ini menandakan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar dendam personal: sebuah pertemuan antara trauma individu dan propaganda kebencian global, yang jika dibiarkan dapat melahirkan bentuk-bentuk kekerasan baru di Indonesia.
Kasus di SMAN 72 adalah potret nyata bagaimana bullying dan radikalisasi dapat saling memperkuat. Bullying, sebagai kekerasan psikologis dan sosial yang terus berulang, menciptakan luka mendalam pada korban. Perasaan tidak berdaya dan terpinggirkan membuat seseorang rentan mencari pengakuan di luar lingkungan atau kelompok sosialnya.
Di era digital, pelarian ini sering kali berujung pada ruang-ruang daring atau komunitas virtual yang menawarkan “identitas baru.” Bak gayung bersambut, ideologi kebencian global seperti ekstremisme sayap kanan yang melalui dunia maya tersebar luas, dengan leluasa dapat mempengaruhi mereka (korban bullying) yang merasa butuh atas pengakuan itu.
Melalui dunia maya, ideologi ini telah menembus batas geografis dan konteks sosial, menyusup ke dalam benak remaja di mana pun mereka berada. Simbol-simbol seperti “For Agartha” dan “14 Words” digunakan bukan hanya sebagai ekspresi supremasi ras, tetapi juga sebagai bentuk pelarian eksklusif yang memberi pengakuan bagi mereka yang terisolasi.
Lebih menakutkan lagi, banyak simbol dan narasi kebencian itu muncul dalam bentuk yang tampak tidak berbahaya—melalui game, meme, musik, bahkan film—yang kemudian tanpa sadar ditiru oleh anak muda. Saat seorang remaja yang terisolasi menemukan ideologi yang memberinya “makna baru”, maka risiko tindak kekerasan meningkat drastis.
Tren ini mengindikasikan bahwa radikalisasi tidak selalu dimulai dari ajaran agama atau doktrin politik. Ia bisa tumbuh dari pengalaman pribadi yang traumatis—dari rasa sakit, dendam, dan kehilangan harga diri. Dalam konteks ini, bullying bukan hanya masalah sosial di sekolah, melainkan titik awal dari proses ideologisasi yang jauh lebih berbahaya.
Para pelaku ekstremisme memahami betul celah ini: mereka tahu bahwa korban bullying adalah lahan subur bagi propaganda. Dengan sedikit polesan narasi tentang “kebangkitan diri,” “keberanian melawan penindas,” atau “perjuangan demi keadilan,” korban bisa diseret ke dalam lingkaran kekerasan yang berujung fatal.
Namun, menyalahkan sepenuhnya pada dunia maya juga tidak adil. Realitasnya, kegagalan lingkungan sekolah dalam mendeteksi dan menangani perundungan menjadi akar utama dari munculnya tragedi semacam ini. Sekolah sering kali menutup mata, menganggap ejekan dan intimidasi antar siswa sebagai bagian dari dinamika pertemanan.
Padahal, di balik tawa dan cemooh yang tampak ringan, ada jiwa yang terluka dan menjerit diam-diam. Korban bullying membutuhkan dukungan emosional, ruang aman, dan sistem pemulihan psikologis yang serius. Sayangnya, banyak sekolah di Indonesia belum memiliki mekanisme konseling yang memadai untuk menampung masalah psikologis siswa.
Karena itu, Tragedi di SMAN 72 Jakarta harus menjadi pengingat keras bagi kita bahwa kekerasan tidak pernah lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari luka sosial yang dibiarkan, dari trauma yang tidak disembuhkan, dan dari propaganda yang tidak dikritisi. Saat bullying bertemu ideologi kebencian, hasilnya adalah bom waktu sosial yang bisa meledak kapan saja.
