Dari Gen Pahlawan ke Gen Perdamaian

Dari Gen Pahlawan ke Gen Perdamaian

- in Narasi
2
0
Dari Gen Pahlawan ke Gen Perdamaian

Kita harus menyadari sepenuh hati bahwa bangsa Indonesia ini takkan pernah berdiri tegak jika para pejuang dan pendiri bangsa terdahulu tidak menanamkan jiwa kepahlawanan yang murni di dada mereka. Mereka mengajarkan arti pengorbanan tanpa pamrih, berjuang bukan untuk nama, tapi untuk cita. Kini, di masa kemerdekaan yang kita nikmati, karakter kepahlawanan itu perlu kita hidupkan kembali sebagai suluh penerang di tengah tantangan zaman.

Karakter kepahlawanan bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan kompas moral yang memberi arah bagi bangsa ini dalam membangun peradaban. Ia menuntun kita melawan bentuk-bentuk baru penjajahan, termasuk neo-kolonialisme dalam wujud radikalisme dan terorisme. Artinya, bangsa yang berkarakter pahlawan tak mudah ditunggangi ide-ide kekerasan. Inilah alasan mendasar mengapa pendidikan karakter kepahlawanan harus menjadi pondasi utama pembentukan generasi bangsa.

Telah kita pahami bersama, eksistensi bangsa ditentukan oleh karakter rakyatnya. Hanya bangsa yang berjiwa kuat dan berakhlak luhur yang mampu berdiri bermartabat di hadapan dunia. Karena itu, membangun peradaban berkarakter kepahlawanan adalah keharusan sejarah, bukan pilihan. Hal itu terwujud ketika setiap anak bangsa menjadikan nilai-nilai kepahlawanan sebagai napas hidupnya.

Peran guru tidak tergantikan dalam menumbuhkan generasi berkarakter pahlawan. Melalui kelas, buku, dan keteladanan sikap, guru menanamkan nilai moral bangsa lewat pendidikan karakter kepahlawanan yang menyentuh akal, rasa, dan tindakan. Pendidikan karakter semacam ini tidak berhenti di ruang teori, tetapi menjadi gerak nyata yang membentuk manusia berjiwa nasionalis dan cinta tanah air.

Hakikat pendidikan karakter kepahlawanan bukan sebatas hafalan nilai-nilai di kepala, tetapi penghayatan nilai-nilai dalam keseharian. Ia menjadi jawaban atas problem bangsa dari lunturnya integritas moral, merebaknya intoleransi, hingga ancaman radikalisme dan terorisme. Karena itu, nilai-nilai kepahlawanan harus diinternalisasi di sekolah dan diaktualisasikan di kehidupan nyata.

Sebab, pendidikan yang hanya pandai berbicara tanpa menanamkan tindakan, ibarat api yang padam sebelum menyala. Banyak kasus radikalisme tumbuh dari pendidikan yang miskin keteladanan.

Kita tahu, secara hukum, kurikulum pendidikan dari dasar hingga tinggi telah memuat pelajaran berwawasan kebangsaan seperti Sejarah dan Pendidikan Pancasila. Tujuannya jelas yaitu membentuk peserta didik yang memiliki jiwa pahlawan dan cinta tanah air berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Namun agar pelajaran itu benar-benar hidup dan berdampak, tiga hal perlu diperhatikan: isi kurikulum, strategi pembelajaran, dan lingkungan belajar yang membentuk karakter.

Dalam praktiknya, Pendidikan Pancasila tak boleh hanya menjadi mata pelajaran di atas kertas, tetapi harus menjadi gerakan nilai dalam keseharian peserta didiknya. Karakter kepahlawanan harus dirawat, diwariskan, dan diperbarui. Sebab, masa depan bangsa bertumpu pada generasi muda hari ini.

Tapscott (2009) membagi generasi menjadi tiga meliputi Generasi X, Y, dan Z. Generasi X memegang peran penting sebagai jembatan nilai, mewariskan semangat pahlawan kepada generasi muda. Maka transfer nilai kepahlawanan harus menemukan cara baru agar tetap membumi.

Berbagai tantangan dalam pendidikan karakter bangsa menuntut sinergi seluruh elemen; sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sebab hanya dengan merawat jiwa kepahlawanan secara kolektif, kita bisa mencegah ideologi kekerasan tumbuh subur. Dengan begitu, radikalisme dan terorisme tak akan pernah punya ruang hidup di bumi Pancasila.

Facebook Comments