Dalam kehidupan politik di Indonesia memang perbedaan tak bisa dihindari, perbedaan dalam pilihan pasti terjadi. Bahkan, dalam tingkat keluarga dapat terjadi sebuah perbedaan dalam memilih pemimpin seperti capres, caleg, bupati, wali kota dan sebagainya.
Perbedaan itu kalau disikapi secara wajar tidak akan ada masalah. Perbedaan pilihan adalah lumrah. Namun, seringkali perbedaan pilihan politik menimbulkan masalah dalam kehidupan masyarakat. Akibat perbedaan sikap politik persaudaraan menjadi retak, saudara jadi musuh, teman jadi lawan dan seterusnya, serta melakukan aksi saling menyalahkan dan bahkan sampai pada taraf aktifitas intoleran.
Keruh suasana yang dominan menciptakan sikap intoleran adalah faktor agama. Jika ada calon pemimpin yang seiman dan calon pemimpin lain yang beda keyakinan, hal ini kerap dimanfaatkan oleh kelompok yang berkepentingan untuk dibenturkan. Identitas agama digunakan sebagai alat meraih dukungan, sehingga politisasi agama tak bisa dihindari.
Lebih-lebih di era digital seperti sekarang, perang melalui media sosial seringkali menimbulkan sikap permusuhan dan saling menjelekkan antara satu kubu pendukung dan kelompok penentang. Alhasil, sikap anti kelompok lain menyebar dengan cepat serta memicu sikap intoleransi yang entitasnya sangat tinggi.
Selain isu agama politik identitas yang lain sering juga dimunculkan; ras, suku, budaya, gender dan sebagainya yang ikut berkontribusi menciptakan ruang intoleransi. Indonesia sebagai negara plural dengan berbagai keragaman budaya, suku, ras, agama, bahasa dan etnik menjadi ladang subur persemaian intoleransi, apalagi kalau pemicunya adalah politik. Jika tidak dikelola secara baik di tahun politik seperti sekarang ini akan menimbulkan akibat buruk bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang damai.
Maka dari itu jelas politik identitas mengarahkan seseorang pada sikap intoleran, tidak bisa menerima perbedaan dan menilai yang berbeda sebagai musuh. Tidak akan ada lagi perbedaan yang indah, tidak ada lagi perbedaan politik yang indah sebab semuanya hanya mementingkan kepentingan, terutama kepentingan kelompok dan identitas yang sama.
Musuh musuh terbesar demokrasi adalah intoleransi. Demokrasi yang mendorong partisipasi publik yang setara meniscayakan perbedaan pendapat dan pilihan. Namun, ketika pilihan dan kesepakatan diambil semua orang harus tunduk dan toleran dengan perbedaan. Sikap tidak menghargai pendapat orang lain adalah benalu dalam demokrasi.
Pemilu Menuju Integrasi, Bukan Segregasi
Sejarah negeri ini mencatat bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah disematkan oleh para pendiri bangsa sejak sebelum republik ini merdeka. Menjadi bukti, tanah air kita telah dihuni oleh beragam manusia dari kultur, etnis, suku dan agama yang berbeda sejak dari dulu. Namun demikian, sedari dulu pula masyarakat Indonesia sejak bernama Nusantara hidup dalam kerukunan dan keharmonisan.
Kerentanan dan kerawanan sosial yang tersimpan dalam keberagaman tersebut berhasil dipagari dengan baik oleh masyarakat kita dengan semangat toleransi antar anak bangsa. Demikian pula dalam konteks politik, sampai saat ini masih menghargai dan menghormati “petuah” leluhur bangsa Bhinneka Tunggal Ika.
Memang ada riak-riak kecil imbas suasana suksesi politik, namun sejauh ini masih bisa diantisipasi berkat kesadaran mayoritas penduduk Indonesia yang begitu besar kesadarannya akan pentingnya perdamaian dan keharmonisan.
Begitulah seharusnya sikap kita saat ini, di tahun politik ini, hendaklah menyadari bahwa perbedaan aspirasi warga negara disalurkan melalui yang demokratis dan beradab. Perbedaan pilihan tidak perlu menciptakan ketegangan apalagi permusuhan.
Demikian pula dalam suksesi kepemimpinan, setiap kontestan dan timses harus memiliki kesediaan untuk menerima kekalahan sebagai cermin nasionalisme sejati. Kontestasi dalam demokrasi adalah untuk mencari pemimpin terbaik, bukan kengototan meraih kemenangan dengan segala cara dan mempertaruhkan kesatuan bangsa.
Sekalipun demokrasi kita diwarnai citra buruk oleh sebab kepentingan membabi buta, meskipun politik kita sering menimbulkan polarisasi masyarakat menjadi beberapa kubu pendukung calon pemimpin, hal itu seharusnya menjadi pelajaran berarti bagi kita serta dapat mengambil pelajaran dari pemilu sebelumnya supaya kita tidak terjebak pada fanatisme dukungan yang membabi buta.
Seberapapun fanatisme terhadap seorang calon pemimpin, sejatinya tidak sampai menjadi intoleran apalagi sampai menciptakan suasa yang dapat menciptakan potensi keretakan rajutan tenun kebangsaan kita.