Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana formalisasi syariat Islam di Indonesia. Kelompok radikal ekstremis mungkin tidak akan berhenti sampai Indonesia benar-benar menjadi negara yang mereka inginkan.
Kita mungkin ingat dua tahun lalu. Selain melakukan penetrasi ajaran khilafah di sekolah-sekolah, pada tahun 2022 muncul sebuah narasi propaganda bertajuk ‘Proposal Khilafah untuk Indonesia’. Proposal yang diorasikan oleh sosok Bernama Agung Wisnu Wardana tersebut marak muncul di media-media sosial, seperti TikTok, X (dulu Twitter), dan YouTube.
Figur yang mengaku sebagai aktifis reformasi 1998 tersebut membacakan poin-poin utama dalam proposal.Pertama, khilafah akan menata ulang sistem kepemilikan dengan pola yang sesuai dengan syariat Islam. Kebijakan ini menuntut pengembalian seluruh sumber daya alam kepada rakyat. Artinya, seluruh pihak asing yang terlibat dalam pengerjaan sumber daya alam di Indonesia, termasuk itu investor atau hanya karyawan biasa, akan diusir sehingga SDA murni dikuasai warga negara. Proposal tersebut menafikan pentingnya investasi pihak asing karena Indonesia sendiri sudah surplus keuntungan berdasarkan kekayaan sumber daya yang ada.
Kedua, khilafah akan menjalankan politik ekonomi Islam. Dalam pengertian ini, khilafah akan memenuhi enam kebutuhan pokok rakyat secara gratis, yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.Ketiga, khilafah versi proposal tersebut berencana untuk menghapus sektor moneter yang menjadikan uang sebagai komoditas utama. Alasannya sudah jelas, riba. Riba akan membawa kepada kemudaratan dan mencegah keberkahan. Keempat, khilafah mempunyai misi untuk mengakhiri dominasi dollar Amerika Serikat dan yuan China kemudian menggantinya dengan sistem moneter Islam, dinar dan dirham.
Unggahan tersebut mendapatkan beragam respon dari berbagai pihak. Sebagian menganggapnya dengan agenda makar, beberapa melihat orasi Agung bermuatan subversif.
Menurut saya, proposal khilafah tersebut hanyalah satu dari sekian modus indoktrinasi kelompok radikal di Indonesia. Kita kembali sejenak ke beberapa tahun lalu, ketika Khilafatul Muslimin yang dikomandani Abdul Qadir Hasan Baraja juga melakukan propaganda serupa yang menyasar kaum akar rumput untuk mendirikan khilafah. Bedanya, konsep khilafah milik Baraja tidak menyenggol pemerintahan Indonesia.
Ia mengatakan bahwa komando khilafah di sini bukan serta merta mengganti pemerintahan Indonesia dengan sistemKhilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Melainkan, hanya mempersatukan umat Islam saja menjadi satu komando tanpa mengintervensi pemerintah dan ideologi negara. Sedangkan, khilafah versi proposal di atas seakan secara langsung berbicara dengan negara dalam misi mengganti sistem pemerintahan.
Atau kita ingat, sistem khilafah trans-nasional yang dicita-citakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. HTI bercita-cita mewujudkan Indonesia sebagai bagian dari khilafah Islamiyah yang global, suatu bentuk pemerintahan yang terdiri dari negara-negara Islam yang bergabung dalam satu bingkai kepemimpinan, untuk kemudian menggunakan hukum Islam sebagai sistem.
Tiga versi khilafah tersebut hanyalah bagian kecil dari banyak agenda-agenda Islam radikal di seluruh dunia. Dalam konteks luar negeri ada Al-Qaeda, ISIS,Jabhat Nusrah, ISIS-K, Taliban, Tehreek-e Taliban Pakistan, dan banyak lagi lainnya yang masing-masing mempunyai obsesi “khilafahnya” sendiri-sendiri.
Namun justru itulah poinnnya. Tidak usah melihat seluruh kelompok radikal yang ada. Tiga versi khilafah di Indonesia itu paling tidak sudah secara langsung menampilkan anti-tesis dari sistem khilafah itu sendiri, yaitu persatuan.Pertama, inkonsistensi para agen-agen radikal dalam melakukan propaganda.Kedua, khilafah yang ‘katanya’ menjadi pemersatu umat, justru bergerak sendiri-sendiri mengikuti siapa patron yang menggunakannya.
Mudahnya begini, jika memang khilafah adalah solusi pemersatu umat Islam, lalu mengapa masing-masing patron tersebut tidak saling konsolidasi saja dan membuat satu konsensus tunggal tentang bentuk pemerintahan yang sama. HTI dan Khilafatul Muslimin, misalnya, bisa menciptakan kesepakatan tentang bentuk negara khilafah, kemudian Agung Wisnu Wardana melakukan konferensi pers untuk mengenalkannya kepada publik dan media. Atau pihak Agung Wisnu bekerja sama dengan ISIS untuk mendirikan khilafah di negeri Muslim terbesar di dunia ini.
Namun saya yakin, hal itu tidak akan terjadi. Mengapa? Ya karena masing-masing faksi mempunyai kepentingan politiknya sendiri. Jika sudah begini, maka layak kita ragukan apakah beragam promosi khilafah tersebut murni karena ridho ilahi yang mereka pasang di “brosur” atau hanya semata libido politik. Lihat saja, bagaimana Abdul Qadir Hasan Baraja yang sudah mengklaim diri sebagai khalifah kelompok Khilafatul Muslimin. Andaikata pada akhirnya proposal khilafah tersebut terpenuhi, agen-agen yang menciptakannya tentu akan menuntut posisi strategis di pemerintahan baru itu, bahkan menjadi khalifahnya langsung.
Sebenarnya, tidak perlu menganalisa sejauh itu untuk menyadari bahwa khilafah bukanlah solusi. Kita hanya perlu merefleksikan poin pertama saja, mengapa konsepnya bisa berbeda-beda. Para agen radikal itu berceloteh bahwa demokrasi adalah sistem yang tidak berkah dan sumber masalah. Namun rupanya, mereka justru sedang mempertontonkan kekacauannya sendiri dengan menyuguhkan konsep khilafah yang saling bertentangan.
Saya sendiri ironis, melihat ayat-ayat Tuhan yang agung dilibatkan dalam drama politik khilafah. Ironis melihat bagaimana hadis-hadis Nabi dipelintir sedemikian rupa untuk memenuhi ego politik para kaum kaum kanan. Agen-agen radikal tersebut lupa, ada yang jauh lebih penting daripada hanya menuntut adanya khilafah, yaitu beragama dengan akal sehat. Oleh karena itu, kita sebagai Muslim yang sadar, baiknya memanfaatkan akal sehat itu untuk beragama dengan bijaksana.