Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah soal pengangkatan khilafah. Dalam kitab-kitab fikih klasik kita tidak akan menemukan satu pendapat yang menyatakan kewajiban menegakkan sistem khilafah.
Hal ini perlu dikemukakan di awal, sebab ada narasi yang mencoba mengaburkan masalah ini, yaitu ketika kelompok HTI mempropagandakan bahwa Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an Nawawi ad Dimasqi, masyhur dengan sebutan Imam Nawawi, menyatakan kewajiban penegakan khilafah.
Yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’, mengangkat pemimpin hukumnya fardhu kifayah. Beliau tidak menulis penegakan khilafah. Hal ini semakin mempertegas bahwa dalam khazanah fikih klasik tidak satu pun berbicara tentang penegakan khilafah.
Tidak adanya pembahasan tentang kewajiban penegakan khilafah dalam fikih klasik menyisakan pekerjaan rumah bagi umat Islam untuk membaca lebih mendalam persoalan ini.
Maka, ada beberapa pertanyaan yang harus di jawab. Apakah institusi khilafah merupakan tujuan dalam syariat Islam yang kewajibannya berlaku permanen? Atau keberadaannya hanya bersifat instrumental saja, yang bisa diganti dengan sistem lain?
Negara dalam Pandangan Islam
Telah menjadi pengetahuan umum bersama, keberadaan negara dalam pandangan Islam bukanlah tujuan (ghayah), keberadaannya hanya bersifat instrumental saja atau sebagai sarana (wasilah) untuk mencapai suatu tujuan. Negara dirancang demi tegaknya kemaslahatan umat (mashalih al ummah).
Karena keberadaannya bersifat instrumental saja, maka menjadi wajar kalau dalam teks Wahyu, bentuk negara dan sistem pemerintahan tidak disebutkan secara sharih atau tersurat secara terperinci. Teks Wahyu kebanyakan hanya berbicara soal sistem pemerintahan dan bentuk negara secara universal dan makro.
Teks Wahyu yang berkaitan dengan konsep negara dan sistem pemerintahan hanya berbicara tentang prinsip yang harus dipenuhi, yakni as syura (permusyawaratan), al ‘adlah (keadilan), al musawah (persamaan), dan al hurriyah (kebebasan). Selama prinsip-prinsip tersebut bisa terpenuhi, maka apapun bentuk negara yang ada adalah sah dalam pandangan hukum Islam.
Karenanya, Syaikh Ibnu ‘Aqil al Hanbali berani menyatakan: “(Yang disebut politik dalam Islam) adalah segala aktifitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan jauh dari kerusakan, meskipun tidak ditetapkan oleh Rasulullah dan tidak pula berdasarkan wahyu”.
Hal ini sebagai penegasan, apapun bentuk suatu negara maupun sistem pemerintahan selama berfungsi menciptakan kebaikan bagi manusia dan menjauhkan dari kerusakan, maka layak atau sah dalam pandangan syariat Islam.
Khilafah itu Konsep Bukan Kewajiban
Dalam sistem ketatanegaraan Islam, sistem khilafah dan sistem pemerintahan Islam merupakan dua istilah yang memiliki arti berbeda, namun memiliki substansi yang sama. Secara bahasa keduanya memiliki makna yang berbeda, tapi menuju pada satu muara yang sama.
Baik sistem pemerintahan Islam maupun sistem khilafah berorientasi pada terwujudnya syariat Islam serta dibangun di atas prinsip-prinsip Islam. Suatu pemerintahan yang dipimpin oleh yang dipimpin oleh seorang imam yang disebut khalifah, bermakna pengganti atau penerus. Dalam pengertian, khalifah adalah pengganti atau penerus Rasulullah, baik langsung maupun tidak. Tugas seorang khalifah adalah menjaga tegaknya fondasi agama (hirasah ad Din) dan mengatur dunia (siyasah ad Dunya).
Mengacu pada tujuan berdirinya negara dalam Islam, seperti disebutkan di atas, maka sistem khilafah merupakan konsekuensi dari fungsi keberadaan negara dalam Islam. Tegasnya, sistem khilafah tak lebih hanya sebagai sebuah pilihan untuk mewujudkan tujuan sebuah negara.
Karena sebagai ikhtiar politik dari sebuah sistem pemerintahan, maka sistem khilafah bukan satu-satunya sistem yang ditunjuk secara resmi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan paling ideal dalam Islam. Umat Islam masih memiliki pilihan sistem pemerintahan berdasarkan ijtihad.
Sistem pemerintahan khilafah pada masanya dulu sebelum adanya konsensus masyarakat dunia tentang negara bangsa, bisa dikatakan sebagai sistem terbaik. Namun, di era negara bangsa seperti saat ini belum tentu. Harus ada ijtihad baru untuk merumuskan suatu sistem pemerintahan apalagi di negara multikultural seperti di Indonesia.
Sama seperti sistem pemerintahan yang lain, sistem khilafah tak pernah sekalipun disinggung baik di dalam al Qur’an maupun hadits. Sistem khilafah sebagai sistem politik baru mengemuka pasca Rasulullah wafat. Sistem ini hanya merupakan sebuah proses kreatif (ijtihad) para sahabat Nabi dan umat Islam setelahnya dalam lintasan sejarah sosial politik Islam.
Sistem khilafah hanya bagian dari sejarah politik Islam, bukan bagian dari rukun iman, bukan pula bagian dari syariat Islam. Karenanya, sistem khilafah tak lebih sebagai pilihan dan penegakannya bukanlah kewajiban.
Selain itu, sistem khilafah pada sisi yang lain dalam fakta sejarah menampilkan sisi kelam kemanusiaan. Banyak diwarnai peristiwa berdarah seperti perebutan kekuasaan dan bahkan kedzaliman yang dilakukan oleh seorang penguasa bergelar Khalifah dari berbagai dinasti Islam. Ia bahkan seringkali melahirkan pertentangan perselisihan dalam tubuh umat Islam.