Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

- in Narasi
5
0
Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan mana yang manipulasi. Artikel Harvard Business Review menegaskan bahwa berita palsu tidak hanya merusak reputasi organisasi atau menyesatkan publik, tetapi juga menjadi bahan bakar bagi lahirnya polarisasi ekstrem, termasuk radikalisme di ruang digital.

Narasi palsu yang dikemas emosional dan provokatif sering kali lebih cepat viral dibanding informasi yang akurat, sehingga menciptakan ekosistem yang subur bagi penyebaran ide-ide radikal. Oleh karena itu, melawan berita palsu bukan sekadar menjaga kredibilitas informasi, tetapi juga menjadi bagian penting dari upaya mencegah radikalisasi yang mengancam persatuan masyarakat.

Dalam “How to Counter Fake News” di Harvard Business Review edisi September – Oktober 2025, fenomena fake news (berita palsu) berkembang pesat seiring dengan meluasnya media sosial dan platform digital. Berita palsu sering kali lebih cepat menyebar daripada berita faktual karena sifatnya yang sensasional, emosional, dan mudah memicu keterlibatan publik. Dampaknya berbahaya, mulai dari polarisasi politik, kerusakan reputasi bisnis, hingga melemahkan kepercayaan publik pada institusi.

Cepat viralnya sebuah informasi palsu di media digital disebabkan oleh: Pertama: Bias konfirmasi, yaitu orang cenderung menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya. Jika seseorang telah meyakini akan kebenaran suatu fenomena, ia cenderung sulit menerima informasi lain sekalipun fakta. Kejadian di Desa Rowoyoso, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan pada April 2025 menjadi bukti teori ini, warga rela berdesak-desakan demi mengambil air di sebuah “mata air” yang mendadak muncul karena mereka percayai dapat menyembuhkan berbagai penyakit, namun setelah diperiksa ternyata mata air itu merupakan kebocoran pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Kedua: Heuristik kognitif atau proses jalan pintas mental (mental shortcut) yang digunakan otak manusia untuk mengambil keputusan atau menilai sesuatu dengan cepat tanpa melalui proses analisis yang panjang dan rumit. Inilah sebabnya mengapa banyak konten berita palsu dibuat dengan sangat sederhana dan menggunakan isu-isu yang dekat dengan masyarakat.

Ketiga: Emosi. Unsur emosi dalam berita yang menimbulkan rasa takut, marah, atau kagum lebih mudah diingat dan dibagikan. Unsur emosi menjadi bahan bakar yang mempercepat laju berita, terutama yang bermuatan radikalisme. Dengan memainkan takut, marah, dan benci, kelompok radikal memanfaatkan psikologi manusia untuk memperluas pengaruhnya. [1]Karena itu, melawan radikalisme digital tidak cukup hanya dengan menyajikan fakta, tetapi juga perlu strategi narasi positif yang menggerakkan emosi konstruktif seperti harapan, solidaritas, dan kebanggaan bersama.

Radikalisme di dunia digital tumbuh subur karena memanfaatkan cara kerja yang sama dengan penyebaran berita palsu: cepat, emosional, dan sering kali memanipulasi bias kognitif manusia. Artikel How to Counter Fake News menekankan bahwa fakta semata sering tidak cukup untuk melawan arus informasi yang provokatif. Karena itu, strategi melawan radikalisme harus berangkat dari pemahaman bahwa masyarakat rentan terhadap narasi yang sederhana, sensasional, dan menyentuh emosi, sehingga diperlukan pendekatan yang lebih proaktif dan menyeluruh.

Salah satu kuncinya adalah prebunking atau “vaksinasi informasi”. Masyarakat perlu dibekali pemahaman tentang bagaimana propaganda radikal bekerja sebelum mereka terpapar langsung. Literasi digital yang kritis, termasuk keterampilan memverifikasi sumber, mengenali bias, serta memahami teknik manipulasi narasi, akan membuat individu lebih kebal terhadap konten radikal. Selain itu, platform digital perlu bekerja sama dengan pemeriksa fakta independen untuk menandai konten berbahaya, sekaligus menyesuaikan algoritma agar tidak memberi panggung besar pada konten radikalisme yang mengandalkan keterlibatan emosional.

Namun, melawan radikalisme digital tidak bisa berhenti pada peringatan atau klarifikasi semata. Artikel HBR mengingatkan pentingnya menggunakan narasi positif yang emosional untuk menandingi daya tarik propaganda. Dalam konteks ini, narasi tentang persatuan, solidaritas, harapan, dan kebanggaan bersama harus dikemas dalam bentuk cerita, visualisasi, dan komunikasi yang menyentuh hati. Dengan demikian, ruang digital tidak hanya menjadi arena perlawanan terhadap radikalisme, tetapi juga ladang subur bagi tumbuhnya identitas kolektif yang sehat, inklusif, dan resilien terhadap ujaran kebencian.

Facebook Comments