Jihad ke Sudan: Skenario Lama untuk Menyulut Api Perpecahan

Jihad ke Sudan: Skenario Lama untuk Menyulut Api Perpecahan

- in Narasi
2
0
Jihad ke Sudan: Skenario Lama untuk Menyulut Api Perpecahan

Dalam beberapa minggu terakhir, Sudan kembali dilanda perang saudara yang melibatkan militer dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

Kondisi yang kacau ini segera dimanfaatkan oleh jaringan radikal internasional sebagai lahan baru untuk memperluas pengaruh. Melalui majalah daring dan kanal propaganda, kelompok ekstrem seperti ISIS menggambarkan konflik Sudan sebagai “ladang jihad baru” setelah Suriah.

Tak main-main, ajakan yang mereka lakukan juga tak lupa disertai narasi bahwa pertempuran di sana merupakan bagian dari perjuangan menegakkan keadilan umat, sekaligus pembuktian iman. Namun, sesungguhnya, ajakan tersebut tak lebih dari sekadar taktik klasik untuk menghidupkan kembali romantisme “persatuan global” yang sejatinya semu.

Polanya masih sama, membenturkan identitas kebangsaan dengan identitas keagamaan transnasional. Nasionalisme digambarkan sebagai penghalang bagi persatuan umat, sementara loyalitas kepada negara dianggap sebagai bentuk kesetiaan yang keliru. Dalam konteks Indonesia, propaganda seperti ini sangat berbahaya karena dapat menggerus semangat Bhinneka Tunggal Ika yang telah menjadi fondasi kebangsaan Indonesia sejak lama.

Ketika sebagian warga mulai meyakini bahwa kesetiaan kepada bangsa harus dikorbankan demi kepentingan global, maka di situlah benih disintegrasi tumbuh. Indonesia, dengan keberagaman etnis, budaya, dan agama, sangat rentan terhadap narasi seperti ini karena ia dapat memanfaatkan perbedaan menjadi bahan bakar konflik sosial di masyarakat.

Selain menyerang aspek ideologis, propaganda jihad ke Sudan juga memanfaatkan kekecewaan masyarakat terhadap situasi sosial-politik dalam negeri. Korupsi, ketimpangan ekonomi, serta ketidakadilan sosial dijadikan bukti bahwa sistem negara telah gagal. Dengan narasi seperti itu, kelompok radikal menawarkan “pelarian spiritual” berupa hijrah ke wilayah konflik yang disebut sebagai tempat perjuangan suci untul menyempurnakan keimanan.

Padahal, apa yang sebenarnya terjadi bukanlah perjuangan menegakkan kebenaran, melainkan perekrutan militan baru yang siap dijadikan alat politik oleh kelompok bersenjata. Tragisnya, sebagian anak muda yang merasa frustasi dengan keadaan, kemudian menjadi sasaran empuk untuk direkrut melalui janji-janji surgawi yang menyesatkan itu.

Fenomena ini mengingatkan kita pada gelombang migrasi militan ke Suriah beberapa tahun lalu, yang berakhir dengan kehancuran massal dan penderitaan jutaan orang. Banyak dari mereka yang berangkat dengan idealisme tinggi, namun akhirnya menjadi korban propaganda dan tidak pernah kembali. Kini pola serupa muncul kembali dengan wajah baru: Sudan dijadikan simbol perjuangan melawan penindasan global, padahal yang terjadi di sana adalah perang kekuasaan antar faksi militer yang justru menghancurkan masyarakat sipil.

Karena itu kita cermat bahwa jihad sejati bukanlah meninggalkan tanah air untuk menebar kekacauan di negeri orang, melainkan berjuang membangun bangsa sendiri dengan kerja nyata, ilmu, dan empati sosial. Sudah terlalu banyak tragedi yang membuktikan bahwa “persatuan global” yang dijanjikan oleh kelompok ekstrem hanyalah ilusi. Yang tersisa dari skenario itu selalu sama: kehancuran, penderitaan, dan luka kemanusiaan.

Facebook Comments