Jihad Algoritmik; Menjaga Integrasi di Tengah Kontestasi Ideologi

Jihad Algoritmik; Menjaga Integrasi di Tengah Kontestasi Ideologi

- in Narasi
1
0
Jihad Algoritmik; Menjaga Integrasi di Tengah Kontestasi Ideologi

Perang fisik yang terjadi di banyak negara saat ini, menginspirasi munculnya kontestasi ideologi di dunia maya. Konflik internal sebuah negara dieksploitasi sedemikian rupa untuk menyebar narasi ideologis. Konflik horisontal di sejumlah negara Timur Tengah yang terjadi selama satu dekade belakangan dibingkai ke dalam kepentingan ideologis.

Ketika media sosial menjadi saluran arus utama publik dalam mendapat informasi, isu konflik horisontal di banyak negara pun menjalani distorsi. Di media sosial, fakta konflik horisontal yang terjadi di satu negara bisa diputarbalikkan. Yang seharunya dianggap pahlawan bisa di-framing sebagai penjahat.

Sebaliknya si aktor jahat bisa dicitrakan sebagai sosok malaikat. Media sosial mendistorsi realitas. Kebenaran dan kepalsuan menjadi nyaris tidak ada batas. Kita bingung membedakan antara fakta dan opini, realitas atau rekayasa. Akhirnya, kebeneran ditentukan oleh viralitas. Kian menyebar luas sebuah informasi, maka itu akan dianggap sebagai kebenaran tunggal.

Pola yang sama mengemuka dalam konteks isu konflik horisontal di Sudan. Informasi yang tersedia di media sosial telah banyak mengalami distorsi, ditambahi atau dikurangi demi motif tertentu.

Kita tidak mendapatkan gambaran yang utuh tentang apa yang terjadi di negara tersebut. Ketidakutuhan informasi itu membuka celah bagi munculnya narasi provokatif. Salah satunya ajakan jihad ke Sudan yang digelorakan oleh Al Qaeda dan ISIS. Ajakan jihad itu dikemas ke dalam konsep ukhuwah global yang menyihir alam bawah sadar umat.

Berkaca dari seruan jihad ke Suriah beberapa waktu lalu yang berhasil melahirkan gelombang migrasi muslim ke negeri Syam, maka seruan jihad ke Sudan ini patut diwaspadai. Migrasi muslim ke Suriah adalah akumulasi dari rendahnya pemahaman umat tentang hakikat jihad yang berkelindan dengan misinformasi yang mendominasi algoritma media sosial.

Mesin propaganda ISIS kala itu harus diakui terbukti efektif dalam menguasai algoritma media sosial sehingga konten tentang kampanye khilafah nyaris selalu viral.

Pola yang sama tampaknya juga dipakai dalam konteks seruan jihad ke Sudan. Dalam beberapa bulan belakangan, media sosial begitu riuh dengan unggahan soal konflik Sudan. Tidak semua unggahan itu berisi fakta yang menggambarkan realita di lapangan. Sebagian di antaranya justru berisi narasi menyesatkan.

Jika dilihat secara komprehensif, tampak ada upaya untuk menunggangi konflik Sudan ini sebagai ajang propaganda ideologi ekstrmisme keagamaan. Seruan jihad yang dikeluarkan oleh ISIS dan Al Qaeda adalah buktinya. Maka, jangan heran ketika isu konflik Sudan begitu masif diamplifikasi melalui media sosial. Tujuannya memang untuk meradikalisasi umat Islam.

Di tengah kondisi ini, jihad fisik apalagi lintas negara itu sbenernya tidak relevan. Yang kita butuhkan saat ini adalah jihad algoritmik. Yakni upaya sungguh-sungguh untuk merebut kembali algoritma media sosial kita dari dominasi kaum ekstremis dan mensterilkan medsos dari narasi provokatif. Jihad algoritmik dilakukan dengan sejumlah langkah.

Pertama memahami peta isu dan wacana di media sosial. Termasuk kelompok mana saja yang beradu dominasi di media sosial, apa narasi yang mereka usung dan bagaimana strategi mereka dalam mengamplifikasi sebuah isu. Pemahaman akan peta wacana dan gerakan digital ini penting untuk mengidentifikasi apa saja isu yang perlu di-counter dan bagaimana caranya.

Kedua, memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja. Setiap media sosial memiliki karakter algoritma yang khas dan berbeda antara satu dan lainnya. Tiktok misalnya memiliki algoritma yang berbasis pada preferensi pengguna dan personalisasi konten. Sedangkan YouTube berbasis pada engagement konten dengan penonton.

Demikian juga media sosial lainnya. Mengenali karakter algoritma media sosial menjadi modal utama untuk masuk ke percaturan atau kontraksi wacana di media sosial. Tanpa pemahaman yang mendalam terkait algoritma media sosial, maka narasi kita hanya akan bergaung di kalangan sendiri.

Ketiga, paling penting tentunya adalah membanjiri kanal media sosial dengan unggahan yang berkonotasi positif. Salah satunya adalah narasi persatuan atau integrasi bangsa. Di tengah kontestasi Ideologi yang mendompleng konflik sebuah negara, narasi integrasi menjadi hal yang urgen. Manipulasi fakta atas konflik horisontal yang terjadi di belahan bumi lain rawan memicu perpecahan di kalangan bangsa sendiri.

Sentimen keagamaan yang dijadikan pendekatan untuk memahami konflik di negara lain berpotensi menimbulkan sentimen kebencian di kalangan sesama anak bangsa. Maka, jihad algoritmik pada hakikatnya adalah menggaungkan narasi persatuan atau integrasi di dunia maya. Persatuan akan mencegah masuknya importasi konflik oleh kaum ekstremis. Persatuan juga membuat bangsa mampu berpikir jernih dan menempatkan urusan kebangsaan sebagai prioritas di atas kepentingan golongan.

Kontestasi ideologi di abad digital adalah sebuah tantangan bagi negara bangsa majemuk seperti Indonesia. Kita memang tidak sedang menghadapi ancaman atau serangan fisik. Namun, kita dihadapkan pada ancaman ideologis berupa paham keagamaan ekstrem yang masuk melalui isi konflik di negara muslim. Perang ideologi itu hanya bisa kita hadapi dengan terus merawat integrasi. Itulah jihad yang sesungguhnya.

Facebook Comments