Islam kaffah adalah frase yang populer sekali di kalangan muslim konservatif. Frase ini dipakai untuk menghakimi cara beragama kelompok lain. Mereka kerap melabeli perilaku keislaman kelompok di luar mereka dengan kalimat “Islam kalian belum kaffah”. Sebaliknya, frase Islam kaffah dipakai untuk mengidentifikasi kelompoknya sendiri. Seolah mereka adalah golongan paling kaffah, paling sempurna dalam menjalankan ajaran Islam.
Di kalangan kelompok konservatif, tafsiran Islam kaffah itu menjadi ideologis dan politis. Ideologis karena Islam kaffah dimaknai secara eksklusif, yakni bahwa keislaman yang sempurna adalah praktik keislaman yang sesuai dengan pandangan dan tafsiran mereka. Politis lantaran Islam kaffah dimaknai sebagai diberlakukannya ajaran atau hukum Islam sebagai sistem politik dan pemerintahan.
Frasa Islam Kaffah lantas menjadi semacam palu hakim yang memvonis kesalehan umat Islam. Kelompok moderat dianggap tidak kaffah keislamannya karena tidak mengadaptasi simbol-simbol Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tepatkah penafsiran Islam kaffah yang demikian ini?
Jika melihat sejarahnya, ayat tentang Islam kaffah ini turun dalam konteks ketika seorang Yahudi bernama Abdul Salam baru saja masuk Islam. Ia berkata pada Rasulullah bahwa masih ingin mempertahankan ajaran Yahudi-nya, antara lain membaca Taurat dalam solat dan masih merayakan Hari Sabbat.
Lalu turunlah ayat yang berbunyi “…udkhulu fissilmi kaffah” yang artinya masuklah ke dalam Islam secara kaffah. Makna kaffah dalam penggalan ayat tersebut secara spesifik merujuk pada akidah dan ibadah. Bahwa ketika seseorang masuk Islam, maka ia sepenuhnya wajib mengamalkan akidah Islam dan beribadah sesuai ajaran Islam. Tidak lebih dan tidak kurang.
Artinya, jika merujuk pada asbabun nuzul-nya, ayat tersebut jauh dari nuansa ideologis dan politis. Ayat tersebut murni ayat teologis yang berbicara tentang keimanan dan peribadatan. Maka, tafsiran kelompok konservatif yang cenderung ideologis dan politis itu dirasa kurang tepat.
Selain itu, para mufasir pun berbeda pandangan ihwal tafsir kalimat fissilmi kaffah. Ada yang menerjemahkannya dengan “masuklah ke dalam Islam secara total”, ada pula yang menafsirkannya dengan “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan alias bersama-sama”, bahkan ada yang menafsirkan silmi dengan perdamaian. Jadi, makna ayat tersebut, masuklah dalam perdamaian secara total.
Menurut ulama muda, Nadirsyah Hosen, Islam kaffah idealnya dimaknai dari setidaknya tiga sisi, yakni teologis, sosiologis, dan psikologis. Dari sisi teologis, yang disebut Islam kaffah adalah pengamalan ajaran tauhid yang total, dalam artian hanya mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, sekaligus menjalankan ibadah mahdhah secara total. Islam kaffah secara teologis dapat dilihat dari tingkat kesalehan individu seorang muslim. Bagaimana ia mematuhi perintah Islam yang termuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan secara sosiologis, menjadi muslim kaffah adalah menjadi pribadi yang menyadari, memahami, dan berkomitmen untuk menjaga persaudaraan kemanusiaan di tengah realitas sosial budaya dan agama yang majemuk.
Muslim yang hidup di Indonesia, secara spesifik wajib memahami bagaimana pluralitas adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Menjadi muslim kaffah dalam konteks Indonesia berarti menjadi individu yang adaptif dan akomodatif pada perbedaan suku, budaya, agama, dan mampu menerapkan prinsip toleransi dan inklusivisme dalam kehidupan sosial keagamaan.
Terakhir, dari sisi psikologis, muslim kaffah merujuk pada kondisi mental dan psikologi umat Islam yang sehat dan stabil. Ciri mental dan psikologi yang sehat sekaligus stabil adalah tidak adanya kemarahan dan kebencian berlebihan dalam diri individu. Marah dan benci terhadap sesuatu yang tidak disukai tentu wajar dari sudut pandang psikologi.
Namun, kemarahan dan kebencian yang sehat secara psikologis adalah kemarahan dan kebencian yang tidak ditumpahkan dalam perilaku destruktif. Muslim yang kaffah secara psikologis tampak pada perilakunya yang santun dan nirkekerasan. Senantiasa mengedepankan dialog dan diskusi dalam menyelesaikan persoalan.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, tafsiran Islam kaffah yang multidimensi (teologis, sosiologis, dan psikologis) tampaknya lebih relevan ketimbang tafsiran yang bercorak ideologis dan politis. Islam kaffah adalah sebuah tujuan dari perjalanan spiritual seorang muslim, bukan sebagai palu hakim yang digunakan memvonis orang atau kelompok lain.
Hanya Allah yang paham, siapa makhluknya yang benar-benar kaffah dalam berislam. Sementara manusia hanya bisa ikhtiar menempuh jalan menuju kaffah. Maka, Islam kaffah idealnya tidak bisa diklaim sebagai identitas pribadi atau golongan. Islam kaffah bukan hanya milik mereka yang sehari-hari mengadaptasi budaya Timur Tengah. Islam kaffah dalam konteks Nusantara adalah keislaman yang mengakomodasi berbagai realita sosial masyarakat yang plural.