Empat Bentuk Jihad Intelektual Santri di Abad Digital

Empat Bentuk Jihad Intelektual Santri di Abad Digital

- in Narasi
416
0
Empat Bentuk Jihad Intelektual Santri di Abad Digital

Santri adalah kelompok masyarakat yang berkarakter dinamis. Dalam artian mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman sekaligus selalu hadir dalam momen transformasi sosial politik.Di era revolusi kemerdekaan, santri berperan aktif dan terlibat langsung dalam permainan mewujudkan kemerdekaan.

Peran santri tidak hanya berhenti pada itu saja. Di awal kemerdekaan, santri juga menjadi salah satu aktor yang terlibat langsung dalam pergumulan wacana kebangsaan, termasuk dalam menyusun Pancasila dan UUD 1945.

Begitu juga ketika terjadi gejolak politik di era tahun 1965-1966. Santri merupakan salah satu elemen penting yang menjaga ideologi bangsa di level akar rumput. Santri berada di barisan terdepan menghalau ekstremisme kiri berbaju paham sosialisme dan komunisme.

Kini, tujuh dekade lebih sejak Indonesia merdeka tendangan kebangsaan kian berevolusi. Santri pun dihadapkan pada berbagai persoalan kebangsaan yang beragam. Bukan lagi kolonialisme atau ekstremisme kiri yang menjadi tantangan santri hari ini.

Melainkan juga gelombang hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, propaganda ideologi ekstrem kanan (khilafahisme, daulahisme, imamahisme, dll), serta narasi intoleransi dan provokasi yang didesain untuk memecah belah bangsa dari dalam.

Medan jihad santri di era digital ini bukanlah arena peran fisik yang melibatkan senjata dan nyawa. Melainkan lebih pada pertarungan wacana dan ideologi keagamaan di ranah media digital yang serba bebas dan terbuka. Tantangan santri hari ini adalah bagaimana menguatkan narasi kebangsaan di tengah arus deras ideologi ekstrem kanan dan narasi intoleran yang mendompleng isu-isu sosial politik global.

Jihad Intelektual Santri di Era Digital

Di era digital, santri idealnya menggencarkan jihad intelektual, yakni upaya sungguh-sungguh dalam menggunakan rasio dan nalar kritis untuk mengatasi persoalan kebangsaan. Ada setidaknya empat bentuk jihad intelektual santri.

Pertama, melawan hoaks dan ujaran kebencian di media sosial dengan menjernihkan kesimpangsiuran informasi dan menebarkan narasi positif. Dalam kategori sosial, santri merupakan kelompok masyarakat terdidik.

Bahkan, dibanding intelektual yang lahir dari sistem pendidikan sekuler, santri memiliki beragam keunggulan. Salah satunya adalah internalisasi moral dan etika yang didapat selama bertahun-tahun tinggal di asrama dan dekat dengan guru (kiai atau ulama). Ini artinya santri memiliki modal intelektual sekaligus kultural untuk membangun budaya santun di media sosial.

Kedua, menguatkan pilar kebangsaan yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika terutama di tengah gencarnya serangan ideologi keagamaan transnasional radikal. Kaum santri apalagi yang berlatar Nahdliyin sebenarnya tidak pernah mempertentangkan identitas keislaman dan keindonesiaan. Bagi kalangan santri, menjadi muslim Kaffah sekaligus menjadi warganegara Indonesia yang nasionalis bisa dilakukan dalam satu tarikan nafas.

Komitmen keindoneisaan dan keislaman inilah yang harus ditanamkan ke seluruh lapisan kelompok masyarakat. Terlebih kelompok kelas menengah muslim perkotaan yang paling rentan terpapar ideologi anti-kebangsaan. Ini artinya Medan dakwah kalangan santri harus diperluas. Tidak hanya tersegmentasi di kalangan tradisional dan masyarakat desa, namun juga merambah ke kelompok menengah urban.

Ketiga, mengambil alih arena digital dari dominasi kaum konservatif yang membanjiri dunia maya dengan narasi menyesatkan dan memecah-belah. Kaum santri dikenal memiliki kemampuan literasi keagamaan yang kuat.

Di pesantren, meraka terbiasa bergumul dengan teks keislaman klasik, dan ajaran dengan beragam varian keilmuan Islam. Dari mulai kebahasaan, hukum (fiqih), teologi, sampai filsafat dan spiritualisme alias tasawuf.

Namun ironisnya, kaum santri justru kerap tidak terdengar gaungnya di media sosial. Produksi wacana keagamaan di dunia maya saat ini cenderung dikuasai oleh kaum konservatif yang sebenarnya tidak memiliki otoritas keilmuan Islam yang mumpuni. Kebanyakan ustad konservatif yang tersohor di media sosial, umumnya tidak memiliki rekam jejak pendidikan keagamaan formal.

Inilah saatnya kaum santri memaksimalkan literasi keagamaan dan kemampuan intelektualnya untuk berjihad di dunia maya. Yakni dengan membangun narasi keagamaan yang toleran dan moderat dengan berbasis pada khazanah keilmuan Islam klasik.

Terakhir, kaum santri idealnya juga berperan aktif membangun kemandirian ekonomi umat. Isu kemandirian ekonomi ini acapkali luput menjadi perhatian kaum santri. Tersebab, kaum santri cenderung lebih fokus pada bagaimana membangun gagasan dan paradigma keberagamaan. Padahal, kekuatan ekonomi umat ini penting sebagai benteng dari infiltrasi paham ekstrem kiri maupun kanan.

Ekstremisme sebagai ideologi yang permisif terhadap kekerasan umumnya tumbuh subur di tengah masyarakat yang secara ekonomi dan finansial kurang mapan. Ideologi dan gerakan ekstrem umumnya menjajakan mimpi tentang kesejahteraan dan kemakmuran sehingga banyak umat di kalangan kelas bawah terpincut. Maka, membangun kemandirian ekonomi umat ialah bagian dari jihad mencegah Infiltrasi ekstremisme.

Facebook Comments