Pesantren Sebagai Akar Pemahaman Moderat dan Progresif di Masa Depan

Pesantren Sebagai Akar Pemahaman Moderat dan Progresif di Masa Depan

- in Narasi
398
0
Pesantren Sebagai Akar Pemahaman Moderat dan Progresif di Masa Depan

Umat Islam saat ini terkesan “kepayahan”, bahkan cenderung pasif, ketika berhadapan dengan perkembangan zaman yang signifikan. Selain itu, fundamentalisme dan radikalisme masih sering dipandang sebagai ciri dominan dalam tradisi Islam, bahkan di era modern ini. Citra negatif Islam mencapai klimaksnya setelah tragedi 11 September 2001. Citra ini tidak main-main. Pesantren menjadi disorot sebagai episentrum pendidikan Islam terbesar di Indonesia. Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI, menyebut bahwa media Barat kerap menampilkan wajah pesantren sebagai “ladang” benih radikalisme Islam di Indonesia.

Selain itu, tradisi Islam klasik yang menjadi karakter pesantren, seringkali berbenturan dengan gagasan modernitas. Misalnya, soal kesetaraan manusia yang dibenturkan dengan sikapta’zhimpara santri kepada Kyai. Celakanya, tidak hanya Barat, beberapa kelompok Muslim juga skeptis terhadap relevansi pendidikan pesantren dan kapabilitasnya untuk mengikuti perkembangan informasi dan teknologi digital. Akibatnya, citra umat Islam hingga saat ini adalah umat yang tertinggal, konservatif, dan gagap digitalisasi.

Padahal, pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah lama menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia. Pesantren bukan hanya tempat untuk memahami ajaran agama, tetapi juga menjadi aset bangsa dalam melahirkan individu yang bermoral, beretika, dan berketerampilan. Namun, asumsi yang dipaparkan di awal tulisan tampak tidak relevan jika melihat perkembangan pesantren dalam satu dekade terakhir. Hingga saat ini, pesantren di Indonesia cenderung bergerak menuju wajah yang lebih moderat dan progresif dalam mengembangkan Islam.

Dewasa ini, pesantren semakin membuka diri terhadap ilmu pengetahuan modern. Pesantren progresif yang menyadari pentingnya ilmu pengetahuan dalam menghadapi tantangan zaman terus bertumbuh di tengah pesantren-pesantren tradisional yang lebih berfokus pada pemahaman agama. Mereka menawarkan pendidikan formal yang mencakup mata pelajaran seperti matematika, ilmu pengetahuan, bahasa asing, dan sejalan dengan kurikulum nasional.

Di Yogyakarta, misalnya, terdapat sebuah pesantren bernama Pondok Pesantren Bumi Cendekia yang memberikan pengalaman belajar inklusif. Bumi Cendekia mempunyai visi membawa santri ke level global agar wawasan mereka tidak tertinggal. Penting untuk menjaga relevansi pengetahuan santri terhadap zaman di mana mereka hidup. Bumi Cendekia juga sering menghadirkan banyak bule ke pondok untuk membiasakan santri bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, bahasa yang menjadi jembatan para santri kepada perbincangan internasional. Bumi Cendekia menekankan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan santri. Artinya, pesantren tidak terpaku pada lokalitasnya saja, namun juga keluar dan melibatkan diri dalam diskursus-diskursus di luar pesantren.

Secara garis besar, pesantren mempunyai tiga darma utama, yaitu keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT, pengembangan keilmuan yang bermanfaat, dan pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. Kata “pengembangan” menjadi kata kunci bahwa keilmuan pesantren tidak stagnan dan ajarannya bukan sebuah dogma. Bumi Cendekia, dalam konteks ini, berhasil memenuhi ketiga darma tersebut. Bumi Cendekia tetap memberikan pengetahuan Islam yang memadai dengan merujuk pada kitab-kitab Islam klasik. Hal itu sebagai upaya menjaga komitmen pesantren untuk melahirkan santri yang memahami wawasan ke-Islam-an, taat beragama, dan moderat.

Dalam pengertian ini, pesantren moderat mendorong dialog antaragama dan toleransi antarumat beragama. Mereka menyadari pentingnya kerukunan antarumat beragama di tengah masyarakat yang multikultural. Dalam konteks ini, pesantren sering mengadakan diskusi, seminar, dan kegiatan sosial yang melibatkan berbagai komunitas agama. Hal ini membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik antarumat beragama dan mengurangi potensi konflik.

Selain Bumi Cendekia, Pondok Assalafiyyah Mlangi II Yogyakarta juga melek generasi digital dengan menerapkan sistem keuangan cashless di mana para santri dilarang membawa uang tunai. Sistem ini digunakan untuk mengatasi isu pesantren yang sering ditemui, seperti pencurian. Sistem cashless ini juga mampu menanggulangi sikap boros santri karena santri hanya bisa belanja di koperasi pondok. Santri Assalafiyyah juga diberi kartue-Santriyang berfungsi sebagai alat presensi digital untuk check-in dan check-out asrama, presensi kehadiran di sekolah, mengambil laundry, izin pulang, dan sebagainya.

Kedua pesantren tersebut dapat menjadi kontra narasi terhadap label Islam sebagai agama yang tertinggal, gagap terhadap perubahan zaman, eksklusif, dan konservatif. Seperti yang dibincang di awal tulisan, jika pesantren disorot sebagai “ladang” konservatisme, maka Ponpes Bumi Cendekia dan Assalafiyyah Mlangi II bisa dilihat sebagai pencetak generasi Muslim yang moderat dan progresif. Keduanya menjadi representasi banyak pondok pesantren yang pelan-pelan mulai tumbuh subur bersama dengan akselerasi teknologi yang juga sedang berlari kencang.

Pesantren di Indonesia telah menjadi cermin Islam moderat dan progresif yang mencerminkan perkembangan sosial, budaya, dan pendidikan. Mereka memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman Islam yang lebih inklusif, berpikir kritis, dan toleran. Melalui pendidikan agama yang moderat, dialog antaragama, dan keterbukaan terhadap digitalisasi, pesantren membantu menciptakan masyarakat Muslim yang mampu berkontribusi secara positif pada perkembangan Indonesia yang lebih besar. Dengan terus beradaptasi dan mengembangkan diri, pesantren dapat terus menjadi pilar penting dalam mempromosikan Islam yang moderat dan progresif di masa depan.

Facebook Comments