Hari Pahlawan, Persatuan, dan Rekonsiliasi Kebangsaan

Hari Pahlawan, Persatuan, dan Rekonsiliasi Kebangsaan

- in Narasi
2535
0

Pada 10 November 71 tahun lalu, di Surabaya terjadi perang besar-besaran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang yang mengakibatkan banyaknya pejuang-pejuang Indonesia berguguran dan ribuan rakyat menjadi korban. Tak ayal, peristiwa ini menjadi salah satu momentum penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan NKRI. Yang selanjutnya, kita peringati setiap tahunnya sebagai hari pahlawan.

Tentu saja, perjuangan para pahlawan ini bukan hanya perjuangan untuk kepentingan kelompok orang semata, namun perjuangan mereka adalah sebagai bentuk kecintaan para pahlawan terhadap NKRI. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raga guna membebaskan NKRI dari belenggu penjajahan. Dalam hal ini, sebagai bangsa yang besar, kita perlu menghargai jasa-jasa pahlawan. Kita perlu menerapkan sikap patriotisme para pahlawan ini patut kita hargai melalui tindakan nyata kita sehari-hari dan dijunjung tinggi sebagai motivasi dalam membangun sebuah bangsa.

Keutuhan NKRI

Perlu dipahami, sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru hingga demokratisasi yang bermula dari reformasi 1998, kita telah melalui sejarah panjang yang mengancam persatuan dan keutuhan NKRI. Mulai dari pertarungan ideologi, gesekan kepentingan, benturan fisik, kekerasan, sampai konflik yang terkadang mengerdilkan rasionalitas dan sikap empati kita dalam menghargai perjuangan para tokoh-tokoh bangsa.

Saat Bung Karno jatuh dari tampuk kekuasaan yang menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, presiden pertama itu seperti terseok-seok dalam lorong sunyi kesejarahan bangsa ini. Begitu juga ketika Soeharto dilengserkan gerakan mahasiswa 1998 karena sentralisasi kekuasaan dan praktik otoritarian. Hingga semua yang berbau Soeharto dan Orde Baru kemudian “dikutuk” sebagai musuh bersama.

Tak hanya itu, bahkan Pancasila sebagai dasar negara juga sering kali kita jadikan korban atas ketidakdewasaan pola pikir kita dalam memaknai perubahannya. Hingga kini, Pancasila seolah menjadi dasar negara tersandera, jarang diucapkan, dikutip, apalagi dijadikan rujukan pemikiran dan inspirasi bangsa karena dinilai sebagai warisan kuno.

Tak heran, beragam persoalan kini mengancam keutuhan NKRI. Hal ini didasari oleh adanya spirit kebangsaan yang utuh memahami dasar negara yang dipunyai. Hingga, stigma-stigma negatif justru malah menyasar pada dasar negara yang telah menggali secara utuh filosofi kebhinnekaan Republik Indonesia.

Rekonsiliasi

Satu-satunya langkah yang bisa dilakukan dalam menjaga keutuhan dan persatuan NKRI adalah dengan melakukan rekonsiliasi kebangsaan. Dalam artian, kita harus berdamai dengan ego yang mengancam persatuan dan keutuhan NKRI sembari terus berbenah untuk membangun masa depan. Jangan sampai atas catatan sejarah kelam ketidakmampuan kita dalam menafsirkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, justru kita ungkit-ungkit dan jadikan bumerang untuk menyerang sendi-sendi persatuan dan kesatuan NKRI. Karena, NKRI adalah harga mati yang harus kita bayar atas jasa-jasa pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Untuk itu, setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan sekarang ini agar NKRI tetap utuh dan bersatu. Pertama, kita perlu menumbuhkan sikap saling menghargai antar sesama. Memperlakukan warga-warga lain dalam masyarakat secara setara tanpa membeda-bedakan. Hal ini karena, Indonesia terdiri dari bermacam-macam ras, suku, beraneka agama dan kepercayaan, dengan pandangan tentang perilaku baik yang tidak sepenuhnya sama. Kalau tidak ada sikap menghargai perbedaan, bagaimana bisa keberagaman yang kompleks itu akan berdamai dalam bingkai NKRI.

Oleh karena itu, agar terjadinnya kehidupan yang harmonis perlu dikembangkan sikap tengang rasa dalam diri setiap orang perlu ditumbuhkan solidaritas kebangsaan. Suku-suku dan komunitas-komunitas yang hidup dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai latar belakang agama, kepercayaan dan kebudayaan masing-masing, harus kita pandang sebagai saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Kita harus mengembangkan kebiasaan untuk saling menghormati dan saling memperlakukan sebagai saudara, sebagai pihak-pihak yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Kedua, membiasakan diri dengan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Sudah mafhum, bahwa setiap manusia memiliki beragam kepentingan. Namun, kadang kala manusia lupa bahwa kepentingannya, dibenturkan oleh kepentingan orang lain. Hingga, ia sering juga menerapkan prinsip Machievellian – melakukan segala cara, demi tercapainya kepentingannya. Padahal, hal tersebut bisa jadi mencederai spirit kebersamaan. Orang yang merasa tersaikiti, karena hak dan kepentingannya telah dilanggar, bisa jadi marah dan melakukan tumpah darah dengan sesama saudara se-Tanah Air. Ini tentu bukanlah hal yang kita idam-idamkan.

Disinilah kita diuji. Sejauh mana kita mampu mempertahankan keutuhan NKRI di tengah permasalahan yang kian kompleks. Jika para pahlawan terdahulu mampu menyatukan tekad memperjuangkan kemerdekaan NKRI, maka tugas kita sekarang sebagai pewarisnya, hanyalah berbenah sembari menjaga persatuan dan keutuhannya. Kalau kita tidak mampu, betapa durhakanya kita kepada para pahlawan yang telah memperjuangkannya.

Selamat Hari Pahlawan!!!

Facebook Comments