Kebenaran Tuhan atas setiap wahyunya oleh setiap pemeluk agama memang tidak bisa diperdebatkan. Akan tetapi, keyakinan bahwa paham dan pandangan politik pemeluk agama bersumber wahyu yang diklaim sebagai memiliki derajat kebenaran mutlak, perlu digugat dan diperdebatkan kembali. Jika terus dibiarkan, tindak politik oknum agama akan mudah dimanipulasi sebagai gerakan keagamaan.
Tanpa pelurusan makna keagamaan dan keyakinan kebenaran wahyu di atas tindakan politik, pemeluk agama akan dengan mudah mengatakan bahwa tindakannya adalah cermin kebenaran dari kuasa Tuhan itu sendiri. Akibatnya, ciri politik keagamaan yag ditampilkan akan sangat sulit berdamai dengan demokrasi.
Setiap kegagalan rancangan yang dibuat, selalu dipandang sebagai kesalahan dari musuh politik yang harus dihancurkan dengan segala cara. Tentu pandangan ini sangat bertolak belakang dengan pernyataan bahwa kebenaran tunggal hanya milik Allah dan semua perilaku manusia bersifat relatif atas kehendak sang Maha Kuasa.
Semua pemeluk agama memiliki keyakinan yang besar atas keberadaan Tuhan yang Maha Perkasa dan terdorong niat untuk mematuhi segala hal yang telah diperintahkan olehNya. Mereka yang berada di posisi taat, tidak jarang meyakini dirinya berada di posisi dekat dengan Tuhan. Mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada mereka yang selalu berbuat ingar dan melanggar perintah yang telah ditetapkan sang Maha Kuasa. Karena itu, mereka memandang memiliki wewenang lebih untuk atas kelangsungan kehidupan makhluk.
Kewenangan yang lahir dari keagamaan inilah yang kemudian memberi inspirasi pembentukan hukum publik keagamaan. Sebagian ulama dan pemikir kemudian memberi kesimpulan bahwa Islam bisa menjadi agama sekaligus kekuasaan. Penyimpulan tersebut terinspirasi oleh praktik keagamaan pemeluk Islam yang hampir tidak pernah terpisahkan dari unsur politik.
Namun yang menjadi kendala, terkadang politisasi agama sulit dijalankan semua golongan. Salah satu penyebabnya adalah karena seluruh kebijakan politik tersebut selalu diatasnamakan pada doktrin keagamaan yang bersumber dari wahyu Tuhan dan kebenaran yang diyakini secara mutlak. Oleh karena itu, akses kerjasama semakin terganggu dan terhalang oleh keyakinan mutlak yang harus diterapkan oleh semua orang.
Mereka yang mengkritik ataupun menolak doktrin itu akan dianggap sebagai pembelot dan wajib disingkirkan bagaimanapun caranya. Biasanya pelabelaan dosa besar akan selalu dikalungkan sebagai hadiah untuk para pembelot. Sehingga darah dan nyawanya tidak lagi berharga. Kemenangan selalu ditekankan oleh perkenan Tuhan, dan kekalahan sebagai akibat dari pembelot itu.
Praktik manipulasi teologis tersebut, harus dilawan dengan aktivitas perilaku politik yang bersifat moderat. Gerakan aktivis politik moderat akan sangat berpengaruh terhadap percaturan politik. Sehingga gerakan ini selalu menjadi penyangga bobroknya sistem politik teologis yang dibangun oknum politik yang membawa tameng agama.
Sebenarnya permasalahan di atas bisa diselesaikan jika semua pihak memandang politik secara rasional, memandang secara keagamaan dengan mengikutsertakan visi kesejahteraan bersama. Akhirnya akan timbul sistem demokrasi, yang mana tidak dinikmati satu golongan saja melainkan semua orang dapat merasakan hasilnya.
Oleh karena itu, golongan muda sebagai kader harapan diharap bisa menjadi tongkat estafet gerakan kemudaratan. Menumpas habis gerakan politik teologis yang menyengsarakan umat lain sekaligus menjamin perlindungan atas hak-hak yang akan mereka terima.
Dengan begitu, kondisi politik akan berubah ke arah politik keumatan, dan slogan agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak hanya menjadi isapan jempol belaka. Dan untuk mencapai hal itu, dibutuhkan kepekaan dan kepedulian atas gerakan politik yang sedang dijalankan umat Islam. Kemudian menimbang politik Islam dari sudut kemanusiaan dan kebangsaan.