Subtansi Pendidikan Agama adalah Rekonstruksi Akhlak

Subtansi Pendidikan Agama adalah Rekonstruksi Akhlak

- in Narasi
1621
0
Subtansi Pendidikan Agama adalah Rekonstruksi Akhlak

Kontroversi seputar isu penghapusan pelajaran agama kembali mencuat. Musababnya berawal dari draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang alpa mencantumkan frasa “agama” di dalamnya. Tidak mau kontroversi meluas, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tidak berniat menghapus pelajaran agama.

Menarik melihat respons masyarakat yang cenderung reakit menyikapi hilangnya frasa agama dari Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Kejadian ini mengingatkan kita pada peristiwa serupa yang terjadi beberapa tahun lalu. Ketika itu, seorang pakar dan konsultan pendidikan menyatakan bahwa pendidikan agama perlu dibenahi karena banyak disusupi oleh paham radikal. Sikap masyarakat pun kebanyakan resisten terhadap pernyataan tersebut.

Diakui atau tidak, masyarakat kita memang cenderung berpikir simbolistik dan hanya menilai segala sesuatu dari luarannya saja. Dalam konteks menyikapi hilangnya frasa agama dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035 misalnya, masyarakat cenderung berpikir simplistik bahwa pemerintah berniat menghilangkah pelajaran agama dari kurikulum pendidikan nasional. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Masyarakat juga berpikir bahwa penghapusan pelajaran agama seolah akan mendatangkan kiamat bagi negeri ini. Padahal, kenyataannya juga tidak demikian.

Banyak negara-negara maju di Barat, tidak memasukkan materi agama sebagai pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan mereka. Hal itu bukan karena mereka anti-agama, melainkan semata karena agama ialah urusan privat setiap warganegara. Dan, buktinya negara-negara itu tetap baik-baik saja sampai sekarang. Mengapa? Jawabannya ialah meski mereka tidak secara formal menjadikan agama sebagai pelajaran, namun mereka menginternalisasikan nilai dan ajaran agama ke dalam pelajaran tentang etika, moral dan pembentukan karakter.

Jadi, mereka tidak perlu menyebut secara eksplisit pelajaran agama Islam, Kristen, Budha, Yahudi dan sebagainya. Namun, nilai-nilai agama itu secara umum sudah terejawantahkan dalam mata pelajaran yang membahas tentang etika, moral dan karakter. Biarlah pendidikan agama secara spesifik, misalnya teologi Islam, kekristenan dan lain sebagainya didapatkan anak didik di luar sekolah formal alias menjadi urusan pribadi masing-masing.

Kita mungkin tidak bisa meniru langkah negara-negara Barat dengan meniadakan pelajaran agama dari kurikulum pendidikan nasional. Bagaimana pun juga, Indonesia ialah negara beragama, bukan negara sekuler. Di Indonesia agama bukan semata urusan privat, namun juga urusan publik yang membutuhkan keterlibatan langsung pemerintah. Namun demikian, kita bisa meniru spirit pendidikan ala Barat yakni tidak menjadikan pelajaran agama secara simbolistik, namun mengimplementasikannya dalam konteks pendidikan tentang moral, etika dan karakter.

Pendidikan agama hendaknya didesain sedemikian rupa agar mendorong terciptanya karakter anak didik yang kuat dan perilaku yang baik sesuai dengan norma dan etika yang berlaku. Maka dari itu, penting untuk mengembangkan pendidikan agama yang subtantif, yakni yang berorientasi pada upaya rekonstruksi akhlak. Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa subtansi pendidikan agama ialah rekonstruksi akhlak dan hal itu tidak harus secara formal dikemas dalam pelajaran agama.

Materi tentang nilai moral dan etika yang menjadi landasan pendidikan karakter idealnya disampaikan dalam setiap mata pelajaran, tidak hanya terbatas pada pelajaran agama. Rekonstruksi akhlak itu dapat dilakukan melalui pelajaran sejarah, bahasa, pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, bahkan pelajaran seni maupun olahraga. Demikian pula pelajaran sains yang bisa diinterkoneksikan dengan nilai moral dan etika. Jika pola interkonektivitas pendidikan itu tercapai, maka pada dasarnya semua mata pelajaran akan mengerucut pada satu titik temu yang sama; yakni menciptakan manusia yang unggul dalam artian intelek sekaligus berkarakter kuat dan berakhlak mulia.

Di dalam Islam sendiri, akhlak terpuji atau mulia merupakan capaian tertinggi dalam perjalanan keimanan seorang muslim. Ada tiga gradasi perjalanan spiritual dalam Islam, yakni iman sebagai fondasi teologis, Islam yakni praktik syariat dalam kehidupan sehari-hari dan ihsan, yakni manifestasi perilaku dan sikap positif yang merupakan representasi dari kuatnya iman dan ketaatan pada syariah. Ketiga hal itu merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan membentuk habitus manusia. Iman yang kuat harus diwujudkan dalam ketaatan menjalani ibadah dan menjauhi larangan. Puncak dari keimanan dan ketaatan itu mengejawantah melalui cara pikir, ucapan dan perilaku yang baik (akhlaqul karimah).

Konsep gradasi spiritual dalam Islam itu kiranya bisa diadaptasikan ke dalam konteks pendidikan agama. Yakni bahwa pendidikan agama ialah sarana untuk melahirkan insan-insan yang berakhlak mulia sekaligus membentuk karakter bangsa yang kuat. Pelajaran agama di ruang-ruang kelas hanyalah sarana alias alat. Maka dari itu, penting bagi kita untuk tidak menghabiskan energi untuk berdebat tentang alat atau sarana, melainkan memperdebatkan ihwal tujuan subtansial di baliknya.

Apa yang harus kita lakukan saat ini ialah menyudahi polemik tentang isu penghapusan pelajaran agama dari sekolah. Isu itu jelas tidak benar dan sudah dibantah oleh Mendikbud sendiri. Hal urgen yang wajib kita (pemerintah dan masyarakat) lakukan ialah membangun kesadaran bersama bahwa subtansi pendidikan agama ialah rekonstruksi akhlak, lain itu bukan. Puncak tertinggi dari pencapaian pendidikan agama ialah ketika peserta didik memiliki akhlak yang mulia dan mampu menjadi fondasi kuatnya karakter bangsa.

Facebook Comments