Salah Pikir Media Sosial Kita

Salah Pikir Media Sosial Kita

- in Narasi
1360
0
Ilustrasi by kompas.com

Berbagai macam retorika mengenai pembahasan tumpah ruah di media sosial (medsos). Dengan perspektif yang jernih kita mampu membaca apa yang terjadi dibalik pesan yang hendak disampaikan oleh produsen medsos. Berbagai macam framing menjadi titik penting untuk menetralkan pemikiran hingga kita mampu mengambil kesimpulan dengan pandangan yang dimiliki oleh pembaca.

Pemahaman mengenai medsos yang tiap hari menjadi konsumsi masyarakat perlu penguatan dan pemahaman fungsinya. Menilik data yang dibagikan wearesocial.com pada Januari 2017 menyatakan bahwa terdapat 26 juta pengguna aktif di medsos dengan penggunaan waktu 3 jam 55 menit tiap harinya. Hal ini memiliki signifikasi yang tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.

Disisi yang lain, medsos merupakan media kontemporer yang didalamnya berisi kontradiksi dan kerumitan. Apabila hanya percaya pada satu sumber saja kita akan mudah melakukan penghujatan, penghinaan dan mengolok-olok pada orang atau golongan lain. Informasi dari sumber pertama menyebar dengan cepatnya tanpa ada proses verifikasi yang dilakukan. Selain itu, perlu mengurutkan sebuah peristiwa secara kronologis agar kesimpulan yang didapat tak terbalik-balik.

Kekuatan diri sendiri untuk melakukan pemeriksaan kembali informasi menjadi penting sebagai kesehatan medsos. Dengan tak mudah tersulut informasi yang belum jelas kebenaranya. Islam mengajarkan untuk tak mengolok-olok orang lain boleh jadi orang yang diolok-olok lebih baik darinya (QS al-Hujurat: 11). Ujaran buruk ini akan menimbulkan pertikaian antara satu dengan yang lain.

Menahan diri untuk tak mudah membagikan informasi yang belum tentu benar menjadi sebuah prioritas dalam bermedsos. Memang tak mudah untuk menggerakkan jemari agar mengabaikan sliweran informasi yang saling menyerang antara satu dengan yang lain. Ditambah posisi sebagai konsumen informasi yang berafiliasi pada partai politik, organisasi kemasyarakatan atau pemimpin di tempat bekerja.

Rilis 2016, Indonesia berada diurutan 60 dalam index minat baca dari 61 negara yang disurvei (kompas.com). Tentu ini menjadi hal yang memprihatinkan bagi berbagai lapis kalangan. Menurut penulis sudah seharusnya kita memulai budaya membaca dengan membiasakan diri dengan membaca pengetahuan.

Menggunakan medsos laiknya memegang pisau. Bisa berguna menebar kebaikan dan kemanfaatan disisi yang lain dapat menjadi alat kejahatan. Seringkali dalam dunia nyata baik perangainya namun, ketika di medsos berubah menjadi pembenci, penghasut, pemfitnah, penghina, pendengki dan pembohong. Sehingga medsos tak lagi sebagai ajang untuk berinteraksi secara harmoni bahkan sebaliknya. Benih-benih perpecahan dan pertikaian antara warga negara terjadi.

John Fiske (2011) menyatakan bahwa budaya populer semacam ini mempercepat perubahan sosial dibandingkan dengan seorang politisi menggerakkan perubahan. Budaya adiluhung dan kerukunan yang selama ini terjaga harus menjadi prioritas bersama. Bukan mengedepankan ego masing-masing yang memperkeruh keadaan dan menguntungkan satu pihak belaka.

Gerakan cerdas dalam bermedia sosial harus menjadi jargon yang dikedepankan. Dunia sosial tak jauh dari dunia nyata. Interaksi didalamnya harus menggunakan perasaan, akal dan pikiran. Tak seharusnya medsos menjadi dunia diri yang lain.

Medsos menjadi penghubung dinamika dan perekat komunitas yang dengan yang lain. Bertemu secara langsung dengan saudara, teman dan kenalan baru akan memberikan semangat yang baru. Berbeda ketika hanya ketika melihat teks, gambar atau video saja. Kehangatan akan keakraban akan lebih terasa agar menghindarkan kesalah pahaman anatara satu dengan yang lain. Semoga.

Facebook Comments