Dua hamba yang mulia diuji oleh Allah perihal ketundukan dan ketaatan. Jika nyawa adalah paling berharga dan keluarga paling dicintai, Tuhan pun memberikan ujian terberat itu. Bayangkan ayah harus mengorbankan anak tercintanya demi memenuhi perintah Allah.
Sebagai ujian mereka berdua berhasil melalui itu. Bukan maksud Tuhan untuk mengorbankan manusia untuk menunjukkan keagunganNya. Semua adalah perantara ujian untuk menguji sejauhmana ketaatan dan ketulusan seorang hamba. Fisik korban tidak akan dibutuhkan oleh Tuhan, tetapi hati yang yang mulia, tulus dan ikhlas itulah titik nilainya.
Cerita ini terekam dalam sejarah dan Islam membungkusnya dalam satu ritual bernama kurban. Melalui perayaan Idul Adha kilasan sejarah dan semangatnya itu tertanam rapi dalam setiap umat dari generasi ke generasi hingga saat ini. Ibadah kurban menjadi salah satu ibadah yang mengandung nilai historis dan filosofis sekaligus.
Secara historis, ibadah kurban merawat semangat ibadah Ibrahim dan Ismail dalam melalui ujian ketaatan kepada Allah. Sementara secara filosofis ibadah ini mengajarkan tentang kurban yang sesungguhnya tidak terletak pada fisik kurban tetapi ego diri dan sifat kebinatangan dalam diri manusia.
Baca Juga : Menilik Kesalahan Paham Khilafah Islamiyah dari Kacamata Islam
Kurban hanyalah ujian dan latihan ketaatan dan ketakwaan manusia kepada Allah. Menyatakan ketaatan tidak harus mengorbankan jiwa dan nyawa manusia yang lain. Bukan maksud Allah untuk mengajarkan cara ketaatan adalah dengan mengorbankan nyawa manusia. Berkurban sesungguhnya adalah juga dengan menyembelih hewan kurban, tetapi menyembelih ego dan nafsu kebinatangan kita yang seringkali mengabaikan etika dan nilai kemanusiaan.
Semangat kurban ini menjadi penting karena banyak orang beragama merasa telah menjalankan ketaatan dan berkorban kepada Allah dengan mengorbankan manusia. Ketaatan terhadap Allah secara serampangan diekspresikan dengan mengorbankan nyawa manusia yang lain. Membunuh dan menjagal dianggap absah atas nama agama. Sungguh ekspresi ketaatan yang masih dipenuhi dengan nafsu kebinatangan.
Allah hanya menerima kurban dari orang yang bertakwa. Bagaimana mungkin orang bertakwa akan membunuh dan mengorbankan nyawa orang lain? Tujuan akhir kurban adalah membersihkan jiwa manusia dari ego dan sifat kebinatangan. Ibrahim telah lolos ujian dan diberikan imbalan kambing oleh Allah. Penukaran ini sebenarnya isyarat Allah bahwa sesungguhnya kurban itu bukan terletak di fisiknya, tetapi keikhlasan dan ketaatan seseorang.
Dalam surat Al Hajj ayat 37 secara tegas Allah berfirman : Daging-daging unta dan darahnya itu sekali kali tidak dapat mencapai keridhoan Allah tetapi ketaqwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian agar kalian mengagungkan Allah atas hidayah Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Kisah Ibrahim dan Ismail memberikan makna lain bahwa sesungguhnya Allah tidak menginginkan korban nyawa manusia. Nyawa manusia apalagi anaknya sendiri merupakan harta paling berharga. Allah hanya menggunakan kurban sebagai sarana apakah seseorang memiliki ketaatan yang tulus. Sebuah pemikiran sesat jika seseorang merasa taat dengan mengekspresikan pembunuhan terhadap manusia sebagai korban meraih ridho Allah. Sesungguhnya kurban yang mestinya kita lakukan adalah membunuh ego kebinatangan dan kebuasan diri kita. Islam lalu menanamkan semangat membunuh ego dan kebinatangan itu dengan cara berbagi daging kurban dengan sesama. Itulah esensi kurban bagaimana seseorang menanamkan ketaatan dan ringan untuk saling berbagi.