Judul Buku : Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama
Penulis : Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbit : IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan : I Desember 2022
Tebal : 234 Halaman
ISBN : 978-623-5348-40-7
Peresensi : Anton Prasetyo
Nabi Muhammad SAW merupakan teladan terbaik (uswah hasanah) dalam bergaul (muamalah). Tidak saja kepada umat seiman, nabi juga selalu berbuat baik kepada orang-orang non-muslim. Cara bergaul yang seperti inilah yang perlu ditiru oleh umat akhir zaman. Lebih-lebih saat ini terdapat kelompok yang mengkotak-kotakkan pergaulan atas dasar perbedaan keyakinan.
Faqihuddin Abdul Kodir atau akrab disapa Kang Faqih melalui buku terbaru berjudul Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama mengisahkan pergaulan mulia nabi kepada non-muslim dengan gamblang. Nabi bukanlah anti pergaulan terhadap orang-orang di sekeliling yang tidak/belum memeluk agama Islam. Sehingga, orang-orang non-muslim di sekitar nabi (keluarga dan tetangga) selalu merasa nyaman bergaul dengan nabi.
Dalam lingkup keluarga, nabi memiliki menantu dan mertua non-muslim. Ia selalu berbuat baik kepada keduanya. Hampir 19 tahun dari awal Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ RA menjadi menantu non-muslim dan tetap menjadi suami sah putri Baginda Nabi Muhammad SAW. Nabi selalu bersikap baik terhadapnya, bahkan memberi pujian dan apresiasi atas kebaikan akhlaknya dan kesetiaannya pada sang istri. (halaman 97-98).
Dalam mengisahkan pergaulan baik kepada mertua non-muslim, Kang Faqih menukil hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. “Dari Asma’ binti Abu Bakar RA, berkisah tentang ibunya yang masih musyrik datang menemui dirinya, pada masa Rasulullah SAW. Aku bertanya kepada rasul, ‘Ibuku datang menemuiku dengan penuh cinta. Apakah aku (berbuat baik dengan) tetap menyambung persaudaraan dengannya?’ Nabi Bersabda, ‘Ya, sambunglah persaudaraan dengan ibumu itu.” (HR. Bukhari).
Teladan nabi untuk bersikap baik kepada non-muslim bukan saja dalam kondisi baik-baik saja. Pada saat orang-orang Tha’if menolak kehadiran Nabi Muhammad SAW dan mengusir dari kota mereka, nabi tidak mendoakan buruk kepada mereka. Bahkan, ketika ada malaikat turun dan menyatakan kesediaannya untuk menyiksa mereka, nabi justru menolaknya. (halaman 114). Nabi paham bahwa mereka melakukan itu semua karena ketidaktahuannya. Ia berharap agar suatu saat dari mereka atau anak turun mereka ada yang masuk Islam.
Betapa saat awal nabi bersama sahabat sangat berat menjalani hidup di Makkah. Mereka diisolir bahkan tidak diperkenankan membeli makanan oleh non-muslim. Namun demikian, ketika nabi dan umat muslim sudah kuat dan bisa menguasai Makkah, nabi tetap berbuat baik kepada non-muslim. Tidak ada dendam pada diri nabi.
Begitu suasana sudah tenang, Nabi Muhammad SAW mengumumkan ke mana pasukan itu harus berangkat, ke Makkah. Semua sahabat bersorak gembira karena akan memasuki dan menaklukkan Makkah, tempat musuh bebuyutan mereka selama ini. Salah satu pemimpin pasukan, Sa’d bin Ubadah RA, pembawa bendera, dengan semangat mengumandangkan slogan “Hari ini adalah hari pembalasan dan penghabisan mereka (al-yaum yaumul malhamah).”
Nabi Muhammad SAW mendengar slogan tersebut dan meminta Ali bin Abi Thalib KW untuk menegur Sa’d bin Ubadah RA dan mencopotnya sebagai panglima pembawa bendera. Setelah dicopot, bendera diserahkan kepada anak Sa’d bin Ubadah RA, yaitu Qois bin Sa’d RA. Dan nabi pun mengganti slogannya, “Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yaum yaumul marhamah).” (halaman 68).
Nabi muhammad SAW juga sampai di akhir hayat beliau, masih bertetangga secara baik dengan seorang Yahudi, yang saling berhutang satu sama lain untuk kebutuhan keluarga (halaman. 107). Nabi menghormati tetangga non-muslim yang meninggal dunia.
Dalam buku ini, Kang Faqih masih mengisahkan banyak lagi pergaulan mulia nabi kepada non-muslim. Ia juga mengajak umat zaman sekarang untuk bisa meneladani pergaulan nabi. Di bagian akhir buku, Kang Faqih mengajak pembaca untuk memahami dasar pergaulan baik kepada non-muslim melalui ayat-ayat al-Qur’an.
Melalui basmalah, kita berharap agar kehidupan kita penuh keagungan dan kemuliaan, memiliki martabat dan kehormatan, tidak direndahkan, dihina, atau dilecehkan. Tentu saja, harapan kita ini baru relevan dalam perspektif mubadalahjika kita sendiri juga melakukan hal-hal yang bermartabat dan terhormat, baik kepada diri kita maupun kepada orang lain. Jika kita ingin dihormati orang lain, kita juga harus menghormati orang lain. Jika kita tidak ingin disakiti siapa pun, dihina siapa pun, dicaci siapa pun, dari kelompok, golongan, bangsa, atau agama mana pun maka kita juga jangan melakukannya kepada siapa pun. (halaman 132).
Islam adalah agama salam, yang berarti damai, sejahtera, sehat, tenteram, dan bersahabat. Tentu saja, kita berhak memilih dan membela pandangan yang dipilih, tetapi harus tetap dengan kesantunan dan penghormatan kepada pandangan yang berbeda. Demikianlah adab dari perbedaan yang diajarkan oleh para ulama, sejak kita memulai surat pertama dalam al-Qur’an, yaitu QS. Al-Fatihah. Kita bisa belajar banyak hal dari surah ini, di antaranya adalah mengenali dan menghormati perbedaan. (halaman 140).Selamat membaca!