Peringatan Tahun Baru Islam di Nusantara tidak kalah meriahnya dengan perayaan Tahun Baru Masehi. Berbagai ritual dan upaya digelar di masyarakat di berbagai daerah. Ada yang mengadakan grebeg, makan besar bersama, kirab kebudayaan, jamasan atau mencuci benda tradisional, tradisi menyantuni anak yatim, dan sebagainya.
Bedanya, jika perayaan tahun baru Masehi identik dengan pesta dan hura-hura, maka dalam tahun baru Islam, perayaan dimaksudkan sebagai ruang refleksi sekaligus transformasi diri.
Refleksi dalam artian, mengenang apa yang telah dilewati selama setahun terakhir. Apa yang belum dan sudah diraih. Hasil refleksi itu yang kiranya menjadi semacam modal untuk melakukan transformasi diri menuju kondisi yang lebih baik.
Bagi muslim Nusantara, bulan Moharom juga dikenal sebagai bulan Asyuro. Penyebutan ini merujuk pada hari Asyuro yang jatuh pada tanggal 10 Muharam. Hari Asyuro menjadi istimewa lantaran sejumlah peristiwa yang konon terjadi pada tanggal tersebut.
Antara lain, diterimanya taubat Nabi Adam, diselamatkannya Nabi Ibrahim dari api yang membakar tubuhnya, dibebaskannya Nabi Yusuf dari penjara, sembuhnya Nabi Yusuf dari penyakit menahun, selamatnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun, dan tentunya adalah peristiwa tragis, yakni terbunuhnya cucu Rasulullah, Husein di Karbala.
Segala peringatan tahun baru Islam dan hari Asyuro di Nusantara yang kental dengan nuansa tradisi itu sebenernya bermuara pada dua hal, yakni refleksi dan transformasi. Pembersihan benda-benda tradisional yang menandai tradisi di kalangan masyarakat muslim tradisional misalnya, melambangkan penyucian diri memasuki tahun yang baru.
Benda tradisional seperti keris, tombak, dan sebagainya kerap disebut sebagai bentuk syirik oleh kalangan muslim konservatif. Pelabelan itu muncul karena kalangan konservatif tidak memahami hakikat sesungguhnya dari benda tradisional itu.
Muslim tradisional tidak menyembah benda tradisional. Mereka menjadikan benda tradisional itu sebagai perlambang jatidiri. Keris misalnya kerap disebut sebagai “ageman”, alias “pakaian” yang melambangkan karakter seseorang. Apakah ia sosok yang teguh, lembut, ambisius, atau penyabar.
Penyucian benda tradisional hanyalah simbol dari penyucian diri. Ketika benda tradisinal itu dibersihkan, maka selanjutnya adalah hati dan pikiran yang disucikan. Sayangnya, tradisi ini kadung dicap syirik dan murtad oleh kaum konservatif.
Cara muslim tradisionalis dalam memaknai tahun baru Islam dengan refleksi dan transformasi yang kental dengan nuansa budaya dan tradisi ini kiranya lebih relevan. Ketimbang gaya muslim konservatif radikal yang menarasikan tahun baru Islam sebagai momentum mendirikan institusi politik, seperti daulah atau khilafah Islamiyyah. Kaum radikal cenderung mereduksi filosofi tahun baru hijriah ke dalam kepentingan politis dan ideologis mereka sendiri.
Logika reduksionisme ini sebenarnya justru mencederai pesan di balik peristiwa hijrah itu sendiri. Jika merujuk pada fakta sejarah, ada dua hal penting yang dilakukan Rasulullah setalah ia sampai di Madinah.
Pertama, ia membangun masjid Quba sebagai tempat ibadah dan ruang diskusi di kalangan muslim untuk membahas segala persoalan. Masjid yang dibangun Rasulullah kala itu sangat sederhana.
Namun, itu menjadi simbol bahwa yang didirikan pertama kali oleh Rasulullah bukanlah institusi politik, namun institusi keagamaan dan sosial. Mesjid menjadi sarana ibadah dan tempat berembug berbagai persoalan.
Kedua, Nabi Muhammad menginisiasi perjanjian antar-kelompok beda suku dan agama yang dinamakan Shahifah Al Madinah atau Piagam Madinah. Piagam Madinah berisi perjanjian lintas agama dan suku dengan komitmen menghargai hak setiap individu atau kelompok dan komitmen untuk saling menjaga dan melindungi.
Piagam Madinah disebut sebagai konstitusi pertama di dunia yang menghargai hak asasi manusia. Rasulullah tidak mendirikan inspirasi politik, apalagi negara kekhalifahan sebagaimana dicita-citakan oleh kaum radikal.
Maka, manuver kaum radikal yang menarasikan tahun baru Islam sebagai momentum mendirikan institusi politik itu salah kaprah dan ahistoris. Hijrah Rasulullah idealnya dimaknai sebagai titik awal membangun peradaban Islam yang inklusif dan egaliter.
Visi keislaman yang Rahmatan Lil Alamin, mustahil dikembangkan di Mekkah yang kala itu didominasi oleh kekuasaan oligarki Quraisy. Kelompok ini memegang otoritas penuh dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan keagamaan.
Di Madinah, Rasulullah mengembangkan komunitas yang menjadi antitesis dari Mekkah. Jika Mekkah dikuasai oligarki Quraisy, maka Madinah didesain sebagai komunitas modern yang berdasar pada konsensus bersama. Jika Mekkah kental dengan nuansa fanatisme golongan dan kesukuan, Madinah didesain sebagai komunitas yang menghargai keragaman.
Dalam konteks Nusantara, pesan hijrah Nabi Muhammad itu disimbolkan melalui beragam tradisi. Grebeg suro menggambarkan rasa syukur atas karunia Allah selama setahun terakhir. Jamasan atau pencucian benda tradisional menggambarkan ritual tazkiyatun nafs alias penyucian jiwa.
Tradisi topo bisu, alias puasa berbicara adalah simbol pengendalian diri dari laku menghakimi orang lain. Tradisi bubur suro melambangkan kesucian menghadapi tahun yang baru. Dan tradisi lainnya yang sarat makna filosofis.
Asyuro, bagi muslim Nusantara bukan bulan politis, yang ditafsirkan sebagai bulan kebangkitan khilafah. Bagi muslim tradisionalis, Syuro adalah bulan refleksi sekaligus transformasi.