Kabar pembubaran secara paksa yang disertai perusakan terhadap kegiatanretreatpelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, mengoyak nurani kebangsaan kita. Sekali lagi menciderai marwah bangsa kita yang katanya toleran, gotong royong dan kaya kebhinekaan. Ironisnya, kejadian seperti ini bukan yang pertama.
Dalam video yang viral di media sosial, terlihat massa merusak fasilitas sebuah bangunan yang digunakan sementara oleh pelajar untuk kegiatan rohani. Tidak sekadar dibubarkan, namun diluluhlantakkan: jendela dipecah, barang-barang dihancurkan, dan ruangan tak berdosa itu dijadikan sasaran kemarahan.
Di tengah pernyataan aparat dan pemerintah desa yang menyebut peristiwa ini sebagai bentuk “spontanitas masyarakat” karena tidak adanya izin formal, kita justru menyaksikan sebuah tragedi tentang betapa lemahnya penghormatan kita terhadap perbedaan—terutama dalam hal keyakinan.
Masih banyak yang belum siap berbeda dan bersikap damai dengan alasan meresahkan masyarakat. Pertanyaannya, mana yang lebih meresahkan antara tindakan anarkisme dan kegiatan keagamaan?
Darurat Literasi Konstitusi dalam Menjamin Hak Kebebasan Beragama
Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama secara tegas. Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam konteks ini, pelajar Kristen yang melakukan retreat keagamaan adalah pihak yang menjalankan hak konstitusionalnya. Bahwa mereka menggunakan sebuah rumah singgah atau vila, bukan tempat ibadah formal seperti gereja, seharusnya tidak serta-merta menjadi alasan pembenaran bagi aksi main hakim sendiri. Apalagi, tidak ada laporan bahwa kegiatan mereka bersifat provokatif atau mengganggu ketertiban umum.
Justru yang mencemaskan adalah tindakan intoleran yang dibungkus dalih “aspirasi warga”. Pertanyaanya, apakah kita sedang membiarkan hukum tunduk pada tekanan mayoritas? Apakah kita meletakkan kebebasan beragama berdasarkan konsensus masyarakat atau konstitusi?
Bila izin adalah masalah administratif, maka jalan penyelesaiannya adalah administratif—bukan kekerasan. Jika, masalahnya adalah perizinan, bukan berarti yang tidak berizin layak dimusnahkan.
Sumbu Pendek dan Mudah Terprovokasi
Tragedi di Sukabumi mencerminkan satu problem serius masyarakat kita hari ini: masih banyak warga yang belum siap hidup bersama dalam keberagaman. Fenomena “sumbu pendek”—mudah tersulut oleh sentimen agama, ditambah minimnya literasi konstitusi—telah menjadi kombinasi berbahaya.
Celakanya, sebagian masyarakat justru merasa seolah dirinya menjadi “penjaga agama” dengan merusak hak orang lain untuk beribadah. Masyarakat seolah menjadi benteng keyakinan dengan menghalangi keyakinan orang lain bersuara. Inikah yang diajarkan agama?
Rasulullah SAW sendiri dalam Piagam Madinah memberikan jaminan hak beribadah bagi komunitas Yahudi, Kristen, dan bahkan kaum musyrikin yang berada dalam naungan masyarakat Madinah. Inilah warisan Islam yang bijaksana dan adil dalam momentum hijrah Nabi.
Sekali lagi sangat ironi bila sebagian umat Islam justru menampilkan wajah keras dan eksklusif atas nama keyakinan yang justru bertentangan dengan ajaran Nabi. Sangat memalukan, jika mengklaim penjaga ajaran Nabi, tetapi membuat perilaku yang menciderai ajaran Islam yang penuh rahmat.
Dalam sejarah Indonesia, umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan lainnya adalah bagian dari mozaik bangsa yang membentuk republik ini. Mereka adalah saudara sebangsa yang memiliki hak setara untuk menjalankan kehidupan keagamaannya, sebagaimana umat Islam yang mayoritas.
Negara Tidak Boleh Abai : Saatnya Mendidik, Bukan Menghardik!
Negara tidak boleh abai terhadap kejadian seperti ini. Polisi menyatakan akan memproses hukum pelaku perusakan. Ini penting, tetapi belum cukup. Akar masalahnya, bukan sekedar tindakan kriminal. Ada pola pikir yang salah dan menyesatkan dari cara pandang masyarakat-mungkin pula tokoh masyarakatnya-dalam bergumul dengan perbedaan.
Perlu ada pendidikan publik yang lebih mendalam dan masif tentang makna toleransi, penghormatan terhadap konstitusi, dan bahaya politik identitas yang mengeksploitasi mayoritas demi penindasan minoritas. Jika ingin mendidik, tidak perlu menghardik, apalagi merusak.
Kita juga perlu berani menyebut bahwa keberagaman tidak cukup hanya dirayakan dalam wacana, tetapi harus dijaga dalam praktik nyata.. Justru di situlah nilai kebangsaan diuji: ketika kita mampu membela hak kelompok lain yang berbeda dari kita. Ujian keimanan kita sebenarnya adalah ketika berani berbeda dan berani damai dalam perbedaan.