Pemerintah tengah menyusun Peta Jalan dan Pedoman AI. Rencananya pemerintah akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang secara khusus menjadi acuan penggunaan AI yang etis, bertanggung jawab, transparan, aman, dan sesuai aturan hukum yang berlaku. Peta jalan dan pedoman AI ini urgen dan relevan di tengah perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang kian menjadi bagian tidak terpisahkan bagi sebagian masyarakat.
Bisa dibilang, AI kini telah merambah ke seluruh lini kehidupan kita, baik dalam urusan publik maupun privat. Di dunia kerja, keberadaan AI mendorong revolusi di dunia industri. Banyak pekerjaan digantikan oleh AI, namun banyak juga pekerjaan baru lahir karena AI. Fenomena ini tentu butuh direspons agar tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Di ranah pribadi, berbagai aplikasi berbasis AI menjadi langganan individu untuk bertanya, berkonsultasi, bahkan menentukan pilihan atas segala sesuatu. ChatGPT misalnya, menjadi aplikasi favorit bagi kalangan milenial dan generasi Z lantaran bisa menjadi semacam teman yang memberikan saran apa saja dan selalu bertindak suportif.
Meski demikian, harus diakui bahwa AI tidak melulu berkonotasi positif. Di tangan pihak yang tidak bertanggung jawab, AI bisa menjadi mesin penghancur peradaban yang luar biasa. Kisah tentang robot AI yang berbalik arah melawan manusia saat ini tentu hanya ada dalam film sains ilmiah. Namun, bukan tidak mungkin hal yang sama akan terjadi di masa depan. Saat ini saja, kita melihat bagaimana AI dimanfaatkan kaum tertentu untuk memecah belah publik dan menebar kebencian pada pemerintah.
Video Sri Mulyani yang diolah dengan teknologi deepfake tempo hari adalah bukti bagaimana di tangan orang yang salah, AI bisa menjadi ancaman serius bagi bangsa dan negara. Apalagi belakangan, teknologi itu mulai diadaptasi oleh kelompok radikal teroris untuk menyebar konten propaganda ekstremisme.
Adaptasi AI oleh kelompok radikal kian menyuburkan fenomena radikalisme digital yang memang tengah marak dalam satu dekade belakangan. Dalam konteks Indonesia, radikalisme digital merupakan akumulasi dari berbagai faktor. Pertama, pembubaran organisasi radikal seperti FPI, HTI, dan terakhir JI memaksa para eksponen gerakan radikal untuk bermigrasi ke ranah daring. Meraka memindahkan arena perjuangan mereka ke ranah daring seperti internet dan media sosial.
Kedua, ketatnya pengawasan aparat keamanan membuat kelompok teroris kesulitan untuk bermanuver di ruang publik. Mereka kesulitan mencari anggota baru melalui proses rekrutmen langsung. Maka, radikalisasi daring pun ditempuh. Kini, proses indoktrinasi, rekrutmen, bahkan baiat kelompok teror dapat dilakukan melalui teknologi komunikasi digital.
Ketiga, perubahan target utama rekrutmen kelompok teror yang mulai menyasar golongan anak muda, remaja, dan anak-anak. Generasi ini dikenal adaptif dengan teknologi digital seperti game online atau media sosial. Hal inilah yang membuat jaringan teroris getol mengadaptasi teknologi digital, termasuk kecerdasan buatan untuk mendekati sasaran mereka yang notabene dikenal sebagai generasi digital native.
Maka, Peta Jalan dan Pedoman AI yang saat ini tengah disusun, idealnya memasukkan variabel pencegahan terorisme digital. Pemerintah perlu menyusun regulasi konkret agar AI tidak dieksploitasi oleh kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda ekstremisme dan terorisme.
Bagaimana caranya? Kata kuncinya ada di kolaborasi semua pihak dan stakeholder. Problem terorisme digital ini tidak hanya urusan pemerintah, apalagi dibebankan pada satu instansi saja. Melainkan menjadi tanggung jawab seluruh elemen bangsa, mulai dari organisasi keagamaan, masyarakat sipil, media massa, dan tentunya penyedia plarform aplikasi kecerdasan buatan sekaligus juga penyedia plarform media sosial. Pihak terakhir ini menjadi sangat penting lantaran dua pihak itulah yang selama ini bisa dikatakan bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan AI.
Perusahaan penyedia plarform aplikasi AI tidak dapat berapologi bahwa produk yang mereka hasilkan itu bebas nilai. Dalam artian, bisa dipakai untuk hal positif sekaligus negatif. Pemerintah tentu perlu mendorong agar perusahaan penyedia platform aplikasi AI itu untuk ikut bertanggung jawab mengawasi produknya agar tidak disalahgunakan oleh kelompok ekstremis.
Tidak kalah pentingnya adalah kesadaran penyedia platform media sosial agar tidak permisif pada penyebaran konten olahan AI yang menyesatkan. Harus diakui bahwa selama ini, platform media sosial berbasis video seperti Tiktok, YouTube, dan Instagram, cenderung permisif pada penyebaran konten olahan AI yang kerap mengandung misinformasi. Hal ini tentu berpotensi memperparah penyalahgunaan AI, termasuk oleh kelompok radikal teroris.
Selain itu, pemerintah juga patut melibatkan partisipasi aktif masyarakat sipil, mulai dari kalangan intelektual dan tokoh agama dalam menyusun Peta Jalan dan Pedoman AI tersebut. Peran intelektual dibutuhkan agar perkembangan AI ke depan dapat bersinergi dengan kepentingan untuk membangun bangsa dalam hal ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan sejenisnya.
Sedangkan peran para tokoh agama dalam penyusunan Peta Jalan dan Pedoman AI diperlukan untuk mencegah adanya perselingkuhan antara AI dan gerakan keagamaan ekstrem.
Perkembangan AI dan adaptasinya ke kehidupan masyarakat harus bersifat positif. AI idealnya menjadi sarana dakwah sekaligus pemberdayaan umat yang lebih efektif. Jangan sampai, AI justru mendistorsi sakralitas ajaran agama, menggusur otoritas lembaga agama resmi, apalagi menjadi sarana baru bagi propaganda ekstremisme keagamaan.
Arkian, Peta Jalan dan Pedoman AI yang rencananya akan diluncurkan pada September mendatang diharapkan menjadi regulasi alias aturan legal-formal terkait penggunaan AI. Dengan adanya regulasi yang jelas, kehadiran AI bisa dikontrol dan diarahkan ke hal konstruktif, bukan destruktif.