Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik, kita berada di rumah, di tanah air. Namun secara ideologis, jutaan benak sedang diajak hijrah massal ke sebuah “tanah air” imajiner, sebuah utopia gurun pasir yang diimpor utuh melalui gawai di genggaman mereka.
Di sinilah seruan untuk “pulang” bukan lagi sekadar nostalgia romantis, melainkan sebuah teriakan darurat. Pulang ke kearifan Nusantara, ke falsafah Sangkan Paraning Dumadi, adalah sebuah keharusan eksistensial sebelum kita menjadi tamu asing di pekarangan rumah kita sendiri.
Islam Nusantara, istilah yang kerap diperdebatkan hingga lelah, sejatinya bukanlah sebuah “merek dagang” keislaman. Ia adalah manhaj, sebuah metodologi dakwah yang teruji oleh waktu. Selama berabad-abad, Islam menyatu dengan jiwa bangsa ini bukan lewat ujung pedang, melainkan melalui kebijaksanaan para Walisongo. Mereka tidak datang untuk memberangus budaya, melainkan menyuntikkan nilai tauhid ke dalam arteri kebudayaan lokal. Inilah seni akulturasi tingkat tinggi, sebuah dakwah yang merangkul, bukan memukul.
Hasilnya adalah sebuah wajah Islam yang ramah, moderat, dan berpegang pada fikih kontekstual—sebuah Islam yang mampu berdialog dengan zaman dan tempat. Ia adalah antitesis dari kekakuan dan arogansi. Namun, ekosistem yang damai ini kini sedang digerogoti.
Virus Gagasan dari Seberang
Kita sedang menghadapi infiltrasi gagasan transnasional yang agresif. Mereka datang dengan paket lengkap: puritanisme tekstual, kebencian terhadap sistem negara-bangsa, dan alergi akut terhadap kearifan lokal yang mereka cap sebagai bid’ah sesat. Berbekal teori difusi inovasi Rogers, mereka memanfaatkan kecepatan internet untuk menyebarkan “fatwa-fatwa digital” yang lepas dari konteks sosio-historis Indonesia.
Gerakan ini, seperti dijelaskan dalam teori gerakan sosial, sangat lihai mengeksploitasi keresahan publik—ketidakadilan ekonomi, korupsi politik—dan menawarkannya sebagai solusi instan. Namun, solusi yang mereka tawarkan adalah ilusi persatuan global (ummah) yang pada praktiknya justru menciptakan perpecahan lokal. Polarisasi, radikalisme, dan budaya takfiri (mengafirkan sesama Muslim) adalah buah pahit dari infiltrasi ini. Harmoni sosial yang susah payah dirajut para leluhur kini terancam koyak oleh tafsir tunggal yang anti-dialog.
Cermin dari Khalifah Umar: Ketika Konteks Mengalahkan Teks Literal
Mereka yang mengusung ideologi impor ini seringkali berdalih bahwa merekalah yang paling murni mengikuti jejak generasi salaf. Klaim ini menunjukkan amnesia sejarah yang parah. Mari kita tengok sebuah kisah agung dari salah satu khalifah yang paling mereka hormati: Umar bin Khattab r.a.
Umar bin Khattab r.a. melakukan ijtihad kontekstual dalam tanah sawad. Sebuah kebijakan baru, yang saat itu menuai kontroversi di antara kalangan sahabat. Namun, ijtihad dan pemikiran Umar bin Khattab melampaui masa itu. Ia ingin mencegah terjadinya hal-hal atau ketimpangan sosial di masa depan.
Keputusan Umar adalah sebuah masterclass dalam penerapan Maqasid Syariah (tujuan luhur syariat)—menjaga keadilan, keberlanjutan, dan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah)—bahkan jika itu berarti menafsirkan ulang sebuah teks yang tampak lugas.
Kini pertanyaannya menusuk tajam: Jika seorang Umar bin Khattab saja, dengan kedalaman imannya, berani melakukan ijtihad kontekstual demi masa depan umat, mengapa kita hari ini justru gamang dan silau oleh tafsir-tafsir beku yang diimpor dari konteks sosial dan geografis yang sama sekali berbeda?
Strategi Peradaban, Bukan Sekadar Bertahan
Menghadapi tsunami ideologi ini, langkah-langkah defensif seperti Perpres Penguatan Moderasi Beragama memang perlu, tetapi tidak cukup. Kita butuh sebuah ofensif kebudayaan. Pendidikan, sebagaimana dirintis K.H. Ahmad Dahlan, harus menjadi garda terdepan dalam membangun “imunitas ideologis”. Kurikulum kita harus secara sadar menanamkan narasi kebangsaan yang cerdas dan metodologi beragama yang kontekstual ala Umar bin Khattab dan Walisongo.
“Pulang” ke kearifan Nusantara bukanlah langkah mundur ke masa lalu. Ia adalah sebuah strategi peradaban. Ini adalah pilihan sadar untuk menjadi subjek, bukan objek dalam sejarah. Pilihan antara merawat taman peradaban kita yang kaya warna, atau membiarkannya menjadi gurun monokrom yang gersang atas nama kemurnian yang dipaksakan. Waktu untuk memilih semakin sempit. Denyut kearifan ini harus kita jaga, atau kita akan kehilangannya selamanya.