Dialog Antara Maaher Thuwailibi Dengan Nikita Mirzani: Sebuah Efek dari Fenomena ‘Islam Urban’?

Dialog Antara Maaher Thuwailibi Dengan Nikita Mirzani: Sebuah Efek dari Fenomena ‘Islam Urban’?

- in Narasi
1172
0
Dialog Antara Maaher Thuwailibi Dengan Nikita Mirzani: Sebuah Efek dari Fenomena 'Islam Urban'?

Berawal dari mengikuti pemberitaan tentang dialog antara Maaher Thuwailibi dengan Nikita Mirzani. Nikita Mirzani berkomentar bahwa kepulangan Habib Rizieq Shihab diberi sambutan gila-gilaan. Bagi Ustaz Maaher, pernyataan tersebut justru dinilai telah merendahkan Habib Rizieq. Sehingga, Ustaz Maaher juga mengancam akan membawa 800 orang untuk menyerbu rumah Nikita Mirzani, dilansir detikNews, 14/11.

Akhirnya, pro dan kontra tak dapat dihindari yang pada gilirannya, muslim yang gundah gelisah kebanyakan adalah para muslim di area perkotaan, atau yang disebut dengan muslim urban. Sedangkan kelompok muslim tradisional lebih santai menghadapi peristiwa itu.

Yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan muslim urban? Kemudian, apa dampak dari fenomena muslim urban ini bagi bangsa Indonesia?

Muslim urban adalah kelompok muslim yang hidup di perkotaan. Masyarakat yang kesehariannya dikelilingi modernitas namun haus akan keilmuan agama. Posisinya yang berada pada tingkat tengah antara ‘up’ dan ‘down’ menjadikan kelas ini juga bisa dikatakan sebagai kelas transisi.

Realitas munculnya muslim urban ini setidaknya dipengaruhi oleh berkembang pesatnya dunia digital atau daring. Masyarakat yang hidup di perkotaan merasa ingin belajar agama dan menjadikan dunia digital sebagai alat perantaranya dalam memahami agama dan dapat menjadikan mereka lebih religius secara cepat.

Fenomena cara beragama muslim urban menjadikan suatu kegelisahan bagi beberapa pakar keagamaan. Seperti kegelisahan ini dirasakan oleh Nadirsyah Hosen yang dituangkan dalam karyanya berjudul “Online Fatwa in Indonesia: From Fatwa Shopping to Googling A Kiai“.

Disadari atau tidak, pada era post truth sekarang ini, para penceramah yang dulunya nyantri dan bergelut dengan kitab kuning bertahun-tahun belum tentu otomatis disebut kiai dan pakar agama. Sedangkan, para penceramah ‘dadakan’ di dunia digital semua disebut ustaz atau sosok yang sudah memahami agama secara mendalam. Pendeknya, dengan meminjam bahasanya Noorhaidi Hasan (2020), mereka pada gilirannya menjungkirbalikkan peran kiai pesantren.

Menurut Mukafi Niam (2017), masyarakat muslim urban atau masyarakat muslim kelas menengah ini jumlahnya dari tahun ke tahun akan terus meningkat dan akan mendominasi populasi muslim Indonesia. Peningkatan prosentase tersebut tentunya akan berimplikasi pada ghirah beragama, misalnya mereka menuntut layanan yang tinggi akan ketersediaan sarana yang memadai untuk menjalankan ibadah dan mengekspresikan kemuslimannya dengan sejumlah simbol. Dengan pendidikan tinggi dan akses informasi yang mudah, mereka juga ikut serta dalam isu-isu terkait kehidupan Muslim, baik di tingkat lokal maupun internasional. Mereka juga bersikap lebih rasional dalam berbagai isu serta kurang mendefinisikan diri dengan kelompok organisasi keislaman tertentu di Indonesia.

Contoh yang sedang di hadapan kita, yakni Habib Luthfi bin Yahya dari Pekalongan, oleh karena Habib Luthfi berbeda dari barisan mereka atau tidak sejalan dengan keinginan kelompok mereka, mereka tak sungkan menyatakan ketidaksetujuannya, bahkan mencaci makinya. Singkatnya, pemahaman keagamaannya standar-standar saja dan menilai segala sesuatu dari common sense tentu ini merupakan sebuah warning.

Senada dengan pandangan di atas, Azyumardi Azra (2017) menyebut fenomena tersebut sebagai peningkatan ekspresi relijiusitas dalam masyarakat urban, agama merambah ke berbagai bidang kehidupan dan ranah publik. Relijiusitas yang baru ditemukan (newly-found religiousity) membuat agama kian terlibat dalam kontestasi di ranah publik; politik, sosial-budaya, ekonomi dan pendidikan. Semua fenomena ini terkait banyak dengan perubahan dan dinamika masyarakat Indonesia di tengah proses demokratisasi, globalisasi dan informasi instan. Pada saat yang sama juga terkait perkembangan keagamaan kontemporer global dan dinamika politik, ekonomi, keamanan, dan budaya internasional.

Kompleksitas perkembangan fenomena dan ekspresi relijiusitas dan keagamaan kontemporer di Indonesia membuat tidak mungkin atau sulit sekali menjelaskannya secara relatif komprehensif. Baik karena perkembangan di dalam dirinya sendiri maupun karena pengaruh bidang-bidang kehidupan lain, agama mengalami perubahan sangat cepat pada berbagai seginya. Sebagai contoh, proses demokratisasi dan perubahan politik dan sosial yang dimunculkannya memberi ruang kebebasan sangat luas bagi ekspresi keagamaan yang sebelumnya terpendam karena restriksi yang diberlakukan rejim penguasa Orde Baru.

Gejala dan fenomena agama kontemporer paling menonjol di wilayah urban Indonesia khususnya adalah ‘kebangkitan agama’ dan revitalisasi yang terekspresikan dalam bentuk peningkatan gairah dan semangat keagamaan. Hanya saja, fenomena ini kiranya pemerintah perlu merumuskan sebuah undang-undang baru yang mengatur peristiwa sosial yang cenderung patologis tersebut. Dengan demikian, fenomena muslim urban ini tidak kebablasan dalam beragama, bermasyarakat, dan bernegara di Indonesia.

Facebook Comments