Fathu Makkah; Seni Mencintai Saat Ada Ribuan Alasan untuk Membenci

Fathu Makkah; Seni Mencintai Saat Ada Ribuan Alasan untuk Membenci

- in Keagamaan
1
0
Fathu Makkah; Seni Mencintai Saat Ada Ribuan Alasan untuk Membenci

Menurut sebagian Muslim, Fathu Makkah dilihat sebagai upaya hegemoni ofensif oleh umat Islam di daerah yang masyarakatnya dulu pernah mencela Nabi Muhammad. Konsep “penaklukan” (conquest) secara inheren menyiratkan dominasi, subjugasi, dan tak jarang, pembalasan brutal terhadap pihak yang kalah.

Saat itu, narasi kekuasaan memang identik dengan pedang dan ekspansi. Peristiwa Fathu Makkah ini, secara permukaan, memiliki semua elemen dari sebuah penaklukan klasik.

Namun Sirah Ibn Ishaq dan seorang akademisi seperti Karen Armstrong mengungkap bahwa Fathu Makkah bukanlah kulminasi dari sebuah agresi militer, melainkan manifestasi puncak dari sebuah “teologi politik cinta”; sebuah strategi di mana prinsip spiritual rahmah (kasih sayang) secara sadar digunakan sebagai alat paling efektif untuk dekonstruksi tatanan lama dan pembangunan fondasi peradaban baru.

Akar Konflik

Untuk memahami betapa “radikalnya” pesan cinta dalam Fathu Makkah, kita harus terlebih dahulu menyelami konteks tragis yang melahirkannya. Selama tiga belas tahun di Mekkah, komunitas Muslim awal bukanlah entitas politik atau militer, melainkan sekelompok minoritas yang rentan.

Catatan sejarah, terutama dalam Sīrat Rasūl Allāh karya Ibn Ishaq, melukiskan gambaran penganiayaan yang diterima oleh komunitas Muslim awal di Makkah. Bilal bin Rabah, seorang budak dari Abyssinia, disiksa di bawah terik matahari dengan batu besar di dadanya.

Keluarga Yasir disiksa hingga syahid. Puncaknya adalah pemboikotan sosial dan ekonomi total terhadap klan Bani Hasyim dan Bani Muttalib selama tiga tahun, sebuah embargo yang menyebabkan kelaparan ekstrem dan kematian.

Dalam menghadapi penindasan ini, perintah ilahi yang turun bukanlah untuk membalas, melainkan untuk bersabar. Al-Qur’an memerintahkan,

“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (QS. Al-Furqan: 63).

Tariq Ramadan, dalam karyanya In the Footsteps of the Prophet (2006), berargumen bahwa fase Mekkah ini adalah sebuah tarbiyah (pendidikan dan pembinaan) yang esensial. Ia adalah proses penempaan karakter yang bertujuan untuk mempersiapkan komunitas Muslim awal ini dari arogansi kekuasaan di masa depan (ketika mereka sudah memiliki power).

Dengan menahan diri dari kekerasan saat lemah, mereka belajar bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kemampuan untuk membalas, tetapi pada kepatuhan terhadap prinsip etis yang lebih tinggi. Rasulullah menanamkan fondasi sebagai basis etika cinta yang akan diuji ketika mereka akhirnya memegang kekuasaan.

Fathu Makkah, Sebuah Manifesto Cinta

Momen Fathu Makkah adalah titik balik. Dengan kekuatan sekitar 10.000 prajurit, Nabi Muhammad memiliki kemampuan militer untuk menghapus Mekkah dari peta dan membalas setiap tetes darah dan air mata yang telah tumpah.

Namun, strategi yang dipilih adalah antitesis dari penaklukan khas kultur Arab klasik. Pasukan dibagi untuk memasuki kota dari beberapa arah, sebuah manuver yang dirancang bukan untuk pertempuran, melainkan untuk menunjukkan kekuatan yang begitu besar sehingga perlawanan menjadi tidak relevan. Ini adalah sebuah strategi pre-emptive yang berlandaskan cinta pada kehidupan, bertujuan untuk mencegah pertumpahan darah.

Klimaksnya terjadi di depan Ka’bah. Para pemimpin Quraisy—Abu Sufyan dan tokoh-tokoh lain yang menjadi algojo utama penganiayaan selama dua dekade—berdiri sebagai tawanan yang pasrah.

Dalam momen yang sarat dengan potensi balas dendam ini, Nabi Muhammad justru memilih untuk memanifestasikan sifat Tuhan yang paling ia dakwahkan: Ar-Rahman (Maha Pengasih). Sabda-nya yang terkenal adalah ketika Rasulullah merevisi pernyataan bahwa Fathu Makkah bukanlah al-yaum al-malhamah (hari pembalasan), tetapi al-yaum al-marhamah (hari kasih sayang).

Karen Armstrong, dalam biografinya Muhammad: A Prophet for Our Time, menganalisis ini sebagai sebuah “kejeniusan politik”. Dengan menolak untuk membalas dendam, Nabi Muhammad secara efektif membongkar seluruh sistem nilai Jahiliyyah yang berpusat pada kehormatan suku dan balas dendam.

Apa yang dilakukan Rasulullah ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan demonstrasi kekuatan tertinggi—kekuatan untuk mengendalikan ego dan nafsu balas dendam. Secara strategis, tindakan ini mengubah musuh bebuyutan menjadi sekutu, mengintegrasikan elite Quraisy ke dalam tatanan baru, dan dengan demikian menstabilkan seluruh Jazirah Arab.

Ini adalah cinta yang berfungsi sebagai alat rekonstruksi sosial yang paling ampuh. Referensi teologisnya sangat jelas dalam Al-Qur’an, misalnya, “…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur: 24). Kemenangan ini bahkan diabadikan dalam Surah An-Nasr, yang mengaitkan kemenangan bukan dengan arogansi, tetapi dengan kerendahan hati untuk memuji Tuhan dan memohon ampunan-Nya.

Secara definitif, Fathu Makkah mendefinisikan kembali arti kemenangan sejati. Jika kemenangan duniawi diukur dari seberapa besar musuh dapat dihancurkan, maka kemenangan dalam peristiwa ini diukur dari seberapa besar kapasitas cinta dapat merangkul dan merubah masyarakat menjadi lebih baik.

Facebook Comments