Menggugat “Cinta Politis” Kaum Ekstremis dengan Kaca Mata Erich Fromm

Menggugat “Cinta Politis” Kaum Ekstremis dengan Kaca Mata Erich Fromm

- in Narasi
2
0
Menggugat “Cinta Politis” Kaum Ekstremis dengan Kaca Mata Erich Fromm

Cinta, sebuah kata yang diklaim sebagai fitrah dan puncak aspirasi spiritual, ironisnya justru menjadi salah satu konsep yang paling sering dibajak dan dimanipulasi. Atas nama “cinta Tuhan” atau “cinta pada umat,” narasi kebencian disebarkan, kekerasan dilegitimasi, dan masyarakat dipecah belah.

Fenomena ini paling kentara pada kelompok radikal-ekstremis yang menjadikan cinta sebagai slogan politis. Mereka mengklaim mencintai Tuhan (secara absolut), namun cinta tersebut justru melahirkan permusuhan terhadap sesama manusia.

Lantas, benarkah itu cinta?

Untuk membongkar patologi ini, kita perlu meminjam pisau bedah dari seorang psikolog-filsuf terkemuka abad ke-20, Erich Fromm. Menurut Fromm, kesalahan fundamental manusia modern adalah memandang cinta sebagai objek yang harus dicari dan didapatkan, bukan sebagai sebuah kapasitas atau keahlian yang harus dilatih dan dikuasai.

Bagi kelompok ekstremis, Tuhan, agama, dan kebenaran adalah objek yang mereka “temukan” dan kini mereka “miliki”. Padahal, seperti seorang pelukis, seseorang tidak akan menjadi maestro dengan sibuk mencari objek yang indah, melainkan dengan melatih tangannya menguasai teknik melukis.

Dengan keahlian itu, objek yang buruk rupa sekalipun dapat ia sulap menjadi mahakarya. Demikian pula cinta sejati; ia bukanlah tentang menemukan siapa yang layak dicintai, melainkan tentang kemampuan untuk mencintai siapa saja, bahkan mereka yang kita anggap “tidak indah” (berbeda).

Dari kerangka Frommian ini, kita dapat memetakan “cinta” ala kaum ekstremis sebagai bentuk cinta yang gagal dan belum matang. Alih-alih menjadi cinta produktif yang memberi, ia terjerembap dalam tipologi cinta yang patologis.

Patologi Cinta Ekstremis: Penimbun, Eksploitator, dan Pedagang

Menurut Erich Fromm, ada beberapa tipologi manusia yang gagal paham dalam mencintai. Tiga di antaranya secara mengerikan merefleksikan watak kelompok ekstremis.

Pertama, Tipe Penimbun (Hoarding Orientation). Bagi Fromm, seorang penimbun memiliki ambisi kepemilikan terhadap apa yang ia cintai. Ia menambahkan imbuhan posesif “-ku” pada segalanya.

Kelompok ekstremis adalah “penimbun kebenaran” dan “penimbun keselamatan” yang paling sempurna. Mereka tidak hanya meyakini sebuah tafsir, tetapi merasa memiliki tafsir tersebut. Akibatnya, lahir ketakutan semua, takut “kebenaran-ku” ini terkontaminasi oleh pemahaman lain, takut “keselamatan-ku” ini terancam oleh eksistensi “yang lain”.

Rasa cinta pada kebenaran yang posesif inilah yang menjadi bahan bakar utama dari sikap tertutup, anti-dialog, dan agresi terhadap siapa pun yang berada di luar tembok eksklusif yang mereka bangun.

Kedua, Tipe Eksploitatif (Exploitative Orientation). Tipe ini memanfaatkan objek yang dicintainya demi kepentingan diri sendiri. Dalam konteks ekstremisme, ini adalah bentuk cinta yang paling politis. Mereka meneriakkan “cinta Tuhan” dan “cinta syariat”, namun pada praktiknya, Tuhan dan syariat dieksploitasi menjadi alat untuk meraih kekuasaan, memobilisasi massa, dan melegitimasi agenda politik mereka.

Para pengikut yang tulus dimanfaatkan energi dan pengorbanannya, sementara teks-teks suci diperas maknanya untuk melayani tujuan duniawi. Cinta di sini bukanlah tujuan, melainkan sekadar instrumen kekuasaan.

Ketiga, dan yang paling berbahaya, adalah Tipe Pasar (Marketing Orientation). Di sini, cinta diperlakukan layaknya transaksi dagang dengan orientasi untung-rugi. Relasi kelompok ekstremis dengan Tuhan seringkali bersifat transaksional. “Kami telah berkorban dan beribadah (modal), maka Engkau, Tuhan, harus memberi kami kemenangan dan surga (keuntungan)”.

Narasi “syahid dan bidadari” juga merefleksikan bagaimana relasi spiritual ini terkungkung dalam orientasi transaksional. Mentalitas dagang ini melahirkan spiritualitas yang rapuh dan arogan.

Antitesis Cinta Produktif: Misi Kenabian sebagai Perbaikan Watak

Lantas, bagaimana bentuk cinta yang sejati? Fromm menyebutnya Cinta Produktif, sebuah cinta yang aktif dan memberi, yang ditandai oleh empat elemen: perhatian (care), tanggung jawab (responsibility), rasa hormat (respect), dan pemahaman (knowledge). Cinta ini tidak bersyarat dan tidak terbatas pada objek yang “indah” atau “sesuai”.

Inilah antitesis dari ideologi ekstremis. Misi besar Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabdanya, adalah untuk menyempurnakan keluhuran watak (akhlaq). Ia tidak datang untuk mengajarkan umatnya menimbun kebenaran, melainkan untuk melatih kapasitas mereka untuk menebarkan rahmah ke seluruh alam.

Cinta yang diajarkan adalah cinta produktif: mencintai anak yatim, menyantuni fakir miskin, memaafkan musuh yang telah menyiksanya selama bertahun-tahun seperti dalam peristiwa Fathu Makkah. Ini adalah manifestasi dari seorang “pelukis” ulung yang mampu melukis keindahan dari kanvas penderitaan dan permusuhan.

Merebut Kembali Makna Cinta

Dengan kacamata Erich Fromm, “cinta” yang didengungkan oleh kelompok radikal-ekstremis adalah sebuah kepalsuan, sebuah cinta yang bersyarat, politis, dan transaksional. Ia adalah cinta seorang penimbun yang takut kehilangan klaimnya, cinta seorang eksploitator yang haus kuasa, dan cinta seorang pedagang yang menghitung untung-rugi di hadapan Tuhan.

Tantangan terbesar kita hari ini bukanlah sekadar melawan narasi kebencian mereka, tetapi merebut kembali makna cinta itu sendiri. Kita perlu belajar dan melatih diri menjadi “pecinta” yang baik, yang fokus pada bagaimana cara mencintai, bukan pada siapa yang layak dicintai.

Sebab, cinta sejati bukanlah tentang seberapa eksklusif iman kita, melainkan seberapa inklusif welas asih kita. Itulah pembeda antara cinta yang membebaskan dan “cinta” yang membelenggu.

Facebook Comments