Radikalisasi di Balik Meja Kerja: Menjaga Birokrasi dari Ideologi Ekstrem

Radikalisasi di Balik Meja Kerja: Menjaga Birokrasi dari Ideologi Ekstrem

- in Faktual
1
0
Radikalisasi di Balik Meja Kerja: Menjaga Birokrasi dari Ideologi Ekstrem

Penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) di Banda Aceh oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri pada Selasa, 5 Agustus 2025, kembali membuka mata publik terhadap bahaya laten radikalisasi di lingkungan kerja. Keduanya diduga aktif terlibat dalam jaringan terorisme dan menjadi bagian dari pengembangan operasi Densus 88 yang telah berjalan dalam beberapa bulan terakhir. Fakta ini menunjukkan bahwa institusi negara pun tidak kebal dari infiltrasi ideologi ekstrem.

Kasus ini bukan kali pertama. Beberapa tahun terakhir, sejumlah ASN, guru, dosen, hingga pegawai BUMN terseret dalam jejaring kelompok radikal. Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada tahun 2021 mencatat bahwa ada lebih dari 400 ASN yang terindikasi terlibat dalam organisasi terlarang, termasuk yang telah dibubarkan seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bahkan, beberapa di antaranya masih aktif menerima gaji negara meski berpandangan anti-NKRI.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa radikalisasi di lingkungan kerja telah menjadi isu serius yang tidak bisa lagi dianggap remeh. Tidak ada individu dan kelompok yang dianggap imun seratus persen dari pengaruh paham ekstrem. Abdi negara yang telah menjalani pengabdian dan sumpah kesetiaan dapat luntur karena pengaruh paham radikal.

Pola Radikalisasi di Lingkungan Kerja

Radikalisasi di tempat kerja tidak selalu terjadi secara instan. Prosesnya seringkali bersifat gradual, halus, dan sulit dideteksi. Fathali Moghaddam dalam teorinya“Staircase to Terrorism”menggambarkan proses radikalisasi sebagai tangga bertingkat, di mana individu secara bertahap naik dari frustrasi sosial menuju keterlibatan aktif dalam kekerasan.

Lingkungan kerja menyediakan ruang yang cukup ideal bagi proses ini berlangsung, terutama ketika tidak ada sistem pengawasan yang memadai. Beberapa pola radikalisasi yang umum ditemukan di lingkungan dapat diidentifikasi sebagai berikut; pertama, Pengajian Eksklusif dan Tertutup. Di beberapa instansi, terdapat kelompok kajian internal yang tidak terafiliasi dengan lembaga resmi. Kajian ini, meskipun tampak religius, seringkali menyisipkan narasi intoleran, anti-demokrasi, dan glorifikasi sistem khilafah.

Kedua, perekrutan melalui relasi sosial. Pegawai yang merasa kesepian, terpinggirkan, atau tengah mengalami krisis eksistensial menjadi target empuk bagi rekan kerja yang sudah terpapar ideologi radikal. Mereka didekati secara personal, lalu dimasukkan ke dalam lingkaran ideologis eksklusif.

Ketiga, propaganda melalui media digital. Grup WhatsApp kantor atau media sosial internal kerap digunakan untuk menyebarkan konten keagamaan yang pada awalnya tampak netral, namun perlahan menyisipkan narasi kebencian terhadap pemerintah, demokrasi, dan kelompok lain yang berbeda pandangan.

Ikhtiar Pencegahan

Mencegah radikalisasi di lingkungan kerja membutuhkan pendekatan yang sistemik dan berkelanjutan. Pertama, literasi ideologi dan keagamaan moderat sebuah keniscayaan. ASN perlu dibekali dengan pemahaman keagamaan yang inklusif dan nilai-nilai kebangsaan secara rutin. Hal ini bisa dilakukan melalui pelatihan, diskusi publik, atau sertifikasi ideologi kebangsaan.

Kedua, pengawasan terhadap aktivitas keagamaan yang ekslusif di lingkungan kerja. Setiap kegiatan keagamaan di lingkungan kerja harus mendapatkan izin formal dan berada di bawah pengawasan instansi atau ormas keagamaan arus utama.

Ketiga, membangun budaya kebersamaan pegawai dengan menghapus sekterianisme. Lingkungan kerja harus dibangun menjadi ruang kondusif bagi perjumpaan dalam keragaman. Ruang kerja tidak boleh menjadi ruang untuk menanamkan ekslusivisme dan sekterian. Hal ini bisa dilakukan dengan mendesain kegiatan keragaman sebagai penguat kebersamaan.

Penanganan radikalisasi di lingkungan kerja bukan sekadar urusan keamanan, tetapi juga urusan pendidikan, budaya, dan tata kelola kelembagaan. Dalam menjaga pegawai dan abdi negara ini tetap memiliki komitmen yang kuat, lingkungan kerja harus bersih dari infiltrasi radikalisme. Mereja adalah benteng pertahanan pertama yang tak boleh diabaikan.

Facebook Comments