Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan Retreat Pelajar di Sukabumi memiliki satu simpul yang sama. Dua kejadian ini memperlihatkan ketegangan yang muncul dari relasi mayoritas dan minoritas-walaupun saya tidak suka menggunakan istilah ini- yang tidak sehat.
Dua kejadian tersebut memiliki pola yang sama; salah paham, miskomunikasi, narasi tidak berizin, gangguan ketentraman dan narasi apologetik lainnya. Tentu, saya berpikir, pola semacam ini akan terus berulang dan hanya menyisakan mediasi dan penegakan hukum terhadap oknum.
Jika hal ini tidak bisa dituntaskan dan berupaya mencari akar masalahnya, kita akan menemukan drama yang sama di tempat yang berbeda. Saya mencurigai ada hal yang lebih dalam dari sekedar drama salah paham dan miskomunikasi yang mengotori relasi antar umat beragama tersebut.
Akar Masalah : Konstruksi Rasa Takut dan Curiga
Ketegangan yang menghiasi relasi pergaulan antar umat beragama berakar dari rasa takut yang mendalam baik dari umat mayoritas yang merasa dikepung oleh misi “kristenisasi”, maupun dari umat minoritas Kristen yang dihantui persekusi oleh tekanan sosial mayoritas. Ketakutan ini melahirkan siklus kecurigaan yang berujung pada tindakan represif, diskriminatif, bahkan kekerasan.
Ketakutan itu bukan hanya hadir dalam benak subyektif individu, tetapi merupakan konstruksi sosial dari relasi yang cukup panjang hingga menciptakan pandangan obyektif yang melembaga (institusionalisasi). Saya ingin meminjam sosiologi pengetahuan dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) dalamThe Social Construction of Reality. Realitas sosial dibentuk oleh konstruksi subjektif yang kemudian dilembagakan. Ketika prasangka dan rasa takut dibiarkan tumbuh tanpa koreksi, ia akan menjadi “kenyataan sosial” baru yang membentuk perilaku kolektif.
Apa yang terjadi di tengah relasi antar umat beragama saat ini adalah munculnya ketakutan sosial yang telah dikonstruksi cukup lama dan melembaga menjadi kenyataan sosial. Mayoritas mengalami semacam ketakutan akan ancaman minoritas yang sedang mengepung. Narasi kristenisasi seolah menjadi kenyataan obyektif yang terus menjadi keyakinan munculnya ancaman. Karenanya, apapun aktivitas yang berbeda-mau itu retreat, layanan keagamaan, ibadah doa dan lainnya-akan ditangkap sebagai ancaman kristenisasi.
Sebaliknya, dari sisi minoritas, mereka juga hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Hantu persekusi, intimidasi dan penolakan sosial menjadi bayangan kelam yang mengonstruksi pandangan mereka terhadap mayoritas. Akibatnya, komunitas seperti Kristen di tengah kampung muslim menggunakan strategi survival dengan beragam cara. Baik sembunyi-sembunyi, atau kegiatan tidak berizin dengan menjadikan rumah tinggal sebagai aktivitas keagamaan. Bukan maksud melawan hukum, melainkan bagian dari respon survival terhadap ketakutan akan persekusi.
Relasi seperti ini sangat tidak sehat. Pola sosial seperti ini rentan menimbulkan ketegangan dan kekacauan sosial yang pada tingkat ekstrem konflik horizontal. Ketakutan terhadap kristenisasi dan hantu persekusi merupakan konstruksi sosial yang terus menerus diproduksi oleh institusi sosial yang ada. Kedua umat berada dalam jebakan praktik hidup dalam ketakutan.
Umat mayoritas selalu berada dalam siege mentality-mentalitas terkepung-oleh pemurtadan masif, cerita kristenisasi, dan pembaptisan yang membuat kecurigaan apapun terhadap aktivitas di luar komunitas mereka. Sementara umat minoritas berada dalam rasa takut learned helplessness, yakni kondisi tidak berdaya menghadapi ketidakadilan yang terus dialami.
Mencari Solusi Ajeg : Mengubah Ketakutan Menjadi Perjumpaan
Mencari solusi terhadap fenomena relasi sosial yang tidak sehat ini tidak bisa mengandalkan penegakan hukum atau sekedar klarifikasi melalui mediasi. Jika dua hal ini yang dijalankan akan ada dendam sosial yang tidak bisa disembuhkan. Mediasi hanya menyembuhkan luka sesaat. Penegakan hukum hanya menghasilkan rasa sesal sesaat.
Ketakutan tidak bisa dilawan dengan ketakutan, apalagi dengan kekerasan. Ketakutan harus dilawan dengan pemahaman, pendidikan, dan perjumpaan. Indonesia sebagai negara plural membutuhkan warga negara yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga mampu hidup dalam keragaman. Curiga harus dilawan dengan pemahaman dan perjumpaan yang terjadi alamiah di tengah masyarakat.
Ruang-ruang perjumpaan antar agama perlu diperluas. Ketika orang dari latar belakang berbeda saling mengenal secara langsung, maka prasangka dan ketakutan akan luruh. Dialog agama bukan sekadar acara formal dengan duduk bersama berbicara tentang toleransi, tapi berbagi pengalaman, kesedihan, dan harapan sebagai sesama warga bangsa dalam kehidupan sehari-hari.
Karena ketakutan adalah konstruksi sosial yang diobyektifikasi dan diinstitusionalisasi, maka perjumpaan agama harus menjadi bagian rekayasa sosial dalam menumbuhkan saling percaya. Tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemuka adat menjadi agen untuk melakukan pelembagaan nilai dan norma baru yang lebih inklusif.
Perjumpaan-perjumpaan lintas iman di tengah masyarakat harus dikonstruksi sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat. Sejak dini anak juga harus dikenalkan dengan perjumpaan yang tidak menakutkan. Melalui perjumpaan-perjumpaan lintas iman ini konstruksi ketakutan akan diganti dengan kenyamanan dalam keragaman.
Solusi: Literasi Keagamaan dan Konstitusional
Menghadapi kompleksitas ini, diperlukan pendekatan interdisipliner. Pertama, diperlukan literasi keagamaan lintas iman yang menekankan pada empati, bukan identitas eksklusif. Pendidikan agama di sekolah harus diperkuat dengan nilai-nilai konstitusional dan penghormatan terhadap keragaman.
Kedua, pemahaman terhadap konsep “dzimmi” dalam Islam klasik perlu dihidupkan kembali dalam semangat kekinian. Rasulullah bersabda:“Barang siapa menyakiti seorang dzimmi, maka aku menjadi lawannya di hari kiamat”(HR Abu Dawud). Ini menunjukkan komitmen Islam dalam melindungi minoritas. Hadis ini perlu dibumikan sebagai panduan moral.
Ketiga, penting bagi kita untuk kembali kepada prinsip Al-Qur’an:“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”(QS. An-Nahl: 43). Di era digital, ini berarti kita harus menyaring informasi dari sumber yang kredibel, bukan dari akun anonim atau tokoh-tokoh yang tidak jelas latar belakang keilmuannya.
Penutup: Mengubah Ketakutan Menjadi Perjumpaan
Sudah waktunya kita meninggalkan ketakutan sebagai dasar relasi sosial dan mulai membangun kepercayaan sebagai fondasi hidup bersama.